Semalam di Kota Hujan

Ananda Wahyu
Chapter #8

Obrolan Masa Depan#8

Sebenarnya, mengikuti ektra olahraga atau ilmiah itu sama. Satu sibuk latihan, yang lain berjibaku dengan penelitian. Tanggung jawabnya sama. Tujuannya melatih disiplin diri tentu kedua-duanya menjadi jaminan masa depan yang cerah. Alfia pernah menang POPDA-Pekan Olah Raga Daerah tingkat pelajar, tetapi dia menikmati tanpa mau menjadi sosok yang mendapat julukan sebagai atlet.


Untuk yang satu ini, ayah dan mama setuju dengan pilihan Alfia. Olahraga hanya sarana untuk sehat dan berkeringat. Bukan untuk dijadikan sandaran masa depan. Bahkan, dia tidak ingat siapa, yang jelas masih saudara mama yang mengatakan bahwa kebanyakan atlet itu bodoh. 


Ah, rasanya itu tidak melulu benar. Mungkin si Om, yang entah Alfia lupa namanya hanya mengeneralisir berdasar fakta di sekitarnya, tanpa meluaskan cakrawala. Yah, Alfia langsung mendaftarkan diri dalam klub penganut pepatah melankolis 'dunia tak selebar daun kelor'. Eh, rasanya seperti itu. 


Namun, apa yang mengesalkan ketika berhadapan dengan Pak Arifin. Sepertinya, tema yang akan diajukan sebentar lagi akan dilibas tornado, lalu menjadi serpihan kecil dan wusss ... hilang. 


Pertemuan sore hari dengan dua anggota tim KIR lainnya yang langsung ditodong proposal penelitian untuk didaftarkan pada lomba karya ilmiah.


"Jadi kamu tetap keukeh dengan judul itu?"


"Iya, Pak. Itu mimpi sudah dari balita." Tentu saja. Alfia sudah memimpikan meneliti biji-bijian satu itu sejak masih berseragam putih biru. 


Pak Arifin mengeryitkan dahi. "Jangan terlalu melankolis, dong, Hajar. Nazla apa pendapatmu?"


Ck! Hajar? Itu panggilan ayah untuknya.


Alfia sedikit memalingkan muka. Memutar mata agar tiada siapapun melihatnya, kecuali malaikat. Dia terus terang benci adegan yang akan berlangsung sebentar lagi. Adegan 'Kabut Cinta' pekat akan menghalangi judul penelitian yang Alfia ajukan. Satu peserta pasti menjadi tidak obyektif. Nazla pasti menyebelahi kecengan barunya aka Pak Arifin. Melupakan Su Huan juga Du Fei si reporter di drama Hausiang-hausiang.


Dalam hitungan ketiga, Alfia kembali berpaling dan secepat kilat kaki kirinya menyepak kaki Pak Arifin sedangkan jari tangannya menyubit siku Nazla.


Pak Arifin tampak tersentak kaget lantas mendongak. Guru muda itu mengedarkan pandangan ke arah siswi bimbingannya, lalu menoleh pada Bu Ambar pembimbing teknis yang sedang melakukan diskusi dengan kelompok IPS.


"Lo, mau gue berpihak pada judul itu. Biji Ceiba pentandra itu?" bisik Nazla.


Alfia mengangguk senang. "Harus! Jan jadi penghianat negara."


Ketika Pak Arifin kembali menoleh pada kedua siswi di hadapannya dan berdeham untuk melanjutkan sesi diskusi, guru muda itu ternyata membaca sekali lagi proposal yang diajukan Alfia. Banyak makalah dan jurnal yang sudah dibaca gadis itu. 


"Jangan lupa kesepakatan kita. Pajaknya traktir bakso belakang pengadilan sebulan full," bisik Nazla lagi.


"Ok!"


"Ini memang bagus. Tapi ...." Pak Arifin menimbang-nimbang proposal Alfia.


"Sebenarnya apa yang dikemukakan Alfia benar, Pak. Bukan masalah melankolis. Soal kapas randu yang seakan hujan salju itu adalah hal lain. Pada dasarnya, memang sangat besar, lho, sampah biji randu yang terbuang percuma, tanpa dimanfaatkan. Di kebun raya banyak. Di mana-mana ada. Apalagi pengerajin kasur dan bantal. Fia, berapa persen tadi?"


"30 - 26%," jawab Alfia bersemangat. 


Duh, si bapak masih saja pasang muka sok keras. Sangat berbeda ketika menyajikan mata pelajaran kewiraan. Yah, memang saat ini beberapa buku harus direvisi. Konon sejarah dikuasai oleh pemenang perang. Jadi, Pak Arifin berulang kali justru menyampaikan kisah-kisah epic kepahlawanan Islam. Terkadang anak-anak bingung, dia itu guru kewiraan atau Sejarah Kebudayaan Islam. Orang, kok, belok.


"Kalian tahu biji randu untuk apa?"


"Dalam hal ini methil ester, Pak. Tentu saja untuk biodiesel atau sebagai emolien dalam produk kosmetika. Gliserol sebagai bahan baku dalam berbagai aplikasi industri kosmetik, sabun, dan farmasi."


Lihat selengkapnya