Semalam di Kota Hujan

Ananda Wahyu
Chapter #11

Malam di Stasiun #11

Penumpang KA Pangrango arah Bogor berjubel. Alfia berhasil duduk bersebelahan dengan seorang perempuan paruh baya yang senantiasa memeluk erat tas dengan gambar bunga tulip seakan takut dimangsa copet. Dia baru duduk saat melewati stasiun Batu Tulis. Daripada tidak duduk sama sekali. 


Arifin berdiri berdesakan dengan banyak penumpang lainnya. Tangan kanannya bergelayur di atas palang kereta, sedangkan tangan kirinya memegang tas ransel agar tetap berada di dadanya.


Alfia sesekali menoleh ke arah luar. Terkadang mencuri lihat ke arah guru muda itu. Dia memperhatikan jika tas Arifin terlihat kembung. Mungkin terdapat banyak buku-buku diktat. Alfia memperhatikan sekali lagi wajah guru muda di sekolahnya itu. Pemuda itu berkacamata, rapi, dan tenang orangnya. Tubuhnya cukup tinggi, kulitnya hitam manis. Tidak berkumis seperti ayahnya, tetapi memelihara jenggot meskipun hanya beberapa lembar seperti sebaran kapang roti basi. 


"Sudah hampir sampai," bisik Arifin. 


Duh, kenapa harus ketahuan mencuri pandang. Alfia langsung tunduk ketika Arifin memandangnya sekilas. Pipinya merah seperti terkena sengatan lebah.


Dari stasiun mereka naik angkot yang berbeda. Arifin mengambil arah Surken atau Surya Kencana. Turun persis di pintu Kebun Raya sedangkan Alfia memilih jurusan 03 arah terminal. Dia turun di flyover depan gerai McDonald's. 


Sampai rumah Alfia terkejut apabila Dok e menyambutnya di muka pintu. Alfia gembira lantas memeluk perempuan tua yang hanya mengenakan turban rajutan itu. Dia melompat kegirangan seperti mendapat angpao lebaran. 


"Kenapa telat, putuku sing ayu dewe? Sudah sore banget baru pulang sekolah," sapa Dok e mesra. Dok e menggunakan bahasa Jawa campur Indonesia. Tidak peduli Alfia paham atau tidak.


"Fia, anu ... eh, Yangkung juga ada?" Alfiah meluru ke arah kakeknya lantas mencium tangan orang tua itu. 


"Fia! Sudah mau Magrib baru pulang, ya?" 


"Ehh ...."


Alfiah tersentak lagi saat memandang ke arah tangga. Oma Nuri dan ayahnya sedang melangkah turun. Alfia segera menghampirinya lalu mencium tangan keduanya.


"Pergi bersihkan badan cepat, Fia. Kamu uwis salat Ashar belum?" tanya Yangkung tegas. 


"Ehhh, belum. Baik, Yangkung." Alfia segera berlari-lari menaiki anak tangga. Hatinya sungguh riang. Pelariannya ke stasiun Cicurug rupanya membawa seri kebahagiaan. 


Namun, terbersit rasa heran juga kenapa Yangkung, Dok e, Oma Nuri tiba-tiba berkumpul di rumahnya? Rumah Oma Nuri memang hanya di belakang, tapi rumah kakeknya jauh. Rumah mereka ada di lereng Gunung Lawu. 


Apapun itu hati Alfia gembira. Setidaknya malam ini rumah besarnya tidak terlalu sunyi seperti biasanya. Justru Alfia sangat senang apabila ada tamu yang datang bertandang.


Jika ada tamu yang datang dia akan melihat wajah Mamanya begitu manis. Wajah ayahnya pun terlihat ramah. Saat ada tamu barulah Alfia dapat melihat ayah dan Mamanya bercakap-cakap dengan baik seperti tidak ada apa-apa masalah di keluarga mereka. Bijak sekali mereka menyembunyikan rahasia. Tidak demikian jika di hadapan Alfia. Jika ada tamu mereka berlaga sangat baik? 


Perasaan Alfia mungkin nomor ke sekian. 


Sulit memahami sikap ayah dan Mama yang sebenarnya. Ayah, walaupun garang tetapi kadang mampu berubah lembut. Sangat lembut bahkan kepada orang-orang tertentu. Sedangkan Mama orang yang ramah, lembut pada Alfia tetapi jarang tersenyum pada ayah. 

Lihat selengkapnya