Pertanyaan Ayah soal keikutsertaan Alfia dalam lomba karya ilmiah mungkin sedikit memupuk rasa bahagia. Namun, Alfia tidak hanya disibukkan dengan lomba penelitian biji kapuk randu itu. Sebelum Mama pulang kampung, dengan angkuh dia telah menerima mandat untuk ikut serta dalam lomba pidato ynag harusnya didelegasikan untuk anak kelas dua. Anak kelas dua juga ikut, sekolah mereka mengirimkan dua wakil. Dia mampu melampaui semua jika ada Mama.
"Alfia ikut lagi tahun ini. Support untuk adek kelas, ya." Bu Siti Badriah memberikan arahan.
Awalnya, Alfia berniat tidak ikut. Dia fokus pada biji kapuk randu. Akan tetapi, berkat dorongan Pak Arif yang kebetulan berada di laboratorium saat Bu Siti datang, ia akhirnya menyanggupi.
Dan sekarang ....
Semangat Alfia mati suri. Lewat saja kamar di mana Mama pernah berada, hatinya dikerumuni rasa sayu. Bagaimana dia akan menghadapi ulangan esok. Ujian berikutnya.
Dia harus memastikan kapan Mamanya pulang.
"Hajar!"
Alfia terkejut ketika selesai menutup gerbang lantas melihat Arifin Putra persis di sampingnya.
"Rumah kita dekat sekali, ya."
Alfia menoleh ke arah lorong sempit yang terletak persis di samping rumahnya. Lorong itu menuju pemukiman di bantaran kali Ciliwung di mana kosan milik Oma Nuri berserakan di sana. Mungkin benar apa yang dikatakan Nazla, bahwa Pak Arifin tinggal di salah satu rumah kosan itu. Namun, kenapa tidak kenal dirinya yang cucu Oma Nuri?
"Biasanya aku naik dari tugu," ujarnya pada dirinya sendiri. Alfia hanya memandang dengan tatapan datar. Sepertinya tidak berminat menanggapi. Persis kelakuannya ketika keduanya secara tidak sengaja berjumpa di stasiun Cicurug. Namun, Alfia segan. Takut dinilai sombong.
"Katanya, Pak Arifin nggak ada duit. Sayang ongkos untuk naik angkot putar sampai depan. Bisa buat beli bala-bala bonus cabe lima biji, lho."
"Eh ...."
Alfia menyeringai saat melihat Arifin tergagap. Dia tahu tidak sopan pada guru muda itu. Meskipun usia mereka mungkin tidak berjarak terlalu jauh, tidak pantas rasanya Alfia berkata penuh sindiran pedas itu. Meskipun ini di luar lingkungan sekolahan.
"Kamu sudah siapkan materi pidato?" Arifin bertanya hal lain. Apa yang ada kaitannya dengan pelajaran rasanya lebih aman.
"Kenapa Pak Arif tanya soal pidato? Bukan alat dan bahan buat penelitian biji kapuk randu?"
"Soalnya itu perlombaan paling dekat penjuriannya. Kamu, nggak merasa kerepotan, kan?"
"Rasanya, Fia mau mundur saja. Bagi kesempatan untuk para junior."
Sebenarnya Alfia belum menyiapkan materi. Baru sedikit yang bisa dia susun. Hari ini juga draf itu harus diserahkan pada pihak perpustakaan untuk diketik ulang dan diprint. Alfia sudah meminta kelonggaran untuk mengetik sendiri di rumah, tetapi Bu Siti Badriah mengatakan harus diedit terlebih dahulu. Tema yang dilombakan tidak berat sebenarnya, tentang remaja. Remaja dan Narkotika. Tapi ....
"Ada majalah Studia. Ada sorotan tentang narkotika dikalangan remaja. Kalau Hajar mau ...."
Arifin mengulurkan majalah remaja itu bersamaan dengan sebuah angkot meluncur keluar dari kelokan belakang terminal. Mereka berdua bergegas naik karena sudah lumayan siang. Setengah tujuh dan kota seribu angkot pastilah penuh sesak pada jam sibuk seperti ini.
***
"Kak Fia, dipanggil Bu Siti. Ditunggu di perpustakaan," ujar seorang anak kelas satu.
"Perpus? Oh, ya." Alfia bergegas ke ruangan yang menjadi satu dengan perpustakaan. Guru bahasa Indonesia berkantor di sana.
"Maafkan saya Bu Siti. Saya belum bisa menyerahkan esai lingkungan yang ibu suruh buat kemarin." Alfia menemui Bu Siti karena dia telah lupa PR yang sudah ditugaskan lebih dari dua minggu itu.
"Kenapa? Kamu nggak membuatnya?" soal Bu Siti Badriah heran.
"Maaf, Bu. Fia khilaf dan teledor."
Selama ini Alfia adalah pelajar pintar kesayangannya. Bukan hanya guru bahasa Indonesia itu. Semua guru sayang dengan Alfia. Gadis itu selalu terdepan jika berhadapan dengan tugas dan PR. Dia yang paling awal menghantar apapun tugas yang diberikan. Tugasnya selalu mendapat nilai yang baik.
“Apakah karena penelitian di lab? Atau latihan pidato sepanjang hari hingga semalam suntuk, sampai pekerjaan rumah pun nggak sempat kamu buat!” Suara Bu Siti Badriah mulai tegas. Pantang baginya kalau ada murid yang tidak membuat pekerjaan rumah atau tidak menjawab bila ditanya.