Pagi itu udara Jakarta begitu pengap. Matahari belum tinggi, tetapi sinarnya sudah menembus tirai lusuh jendela kamar Aruna Prameswari. Gadis itu baru saja terbangun setelah semalam begadang menjaga ibunya.
Di ranjang sempit, Bu Rahayu terbaring lemah dengan infus menempel di tangan. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus, nafasnya pelan seperti setiap tarikan udara adalah perjuangan panjang. Aruna duduk di tepi ranjang, menggenggam tangan ibunya erat.
“Bu, jam obatnya sudah dekat. Aku siapkan dulu, ya.” Suaranya lembut, berusaha tenang meski dalam hati berkecamuk.
Tabung obat di laci sudah hampir habis. Aruna tahu, setelah hari ini, ia harus membeli lagi dan itu artinya biaya tambahan. Ia menunduk, menahan perasaan hancur. Uang tabungannya hampir habis, sementara tagihan rumah sakit sudah menunggu di atas meja ruang tamu.
Ketika ia keluar kamar, ia mendapati Siska, sahabatnya sejak SMA, sudah duduk di kursi ruang tamu sambil menatap tumpukan kertas.
“Run, ini… kamu belum bayar sewa rumah lagi? Udah dua bulan, kan?” Siska menoleh, nada suaranya cemas.
Aruna hanya tersenyum hambar. “Nanti aku usahain, Sis.”
Siska menghela napas. “Kamu itu selalu bilang gitu. Aku tahu kamu kuat, tapi kamu juga manusia, Run. Jangan semua ditanggung sendiri.”
Aruna tidak menjawab. Ia berjalan ke dapur, menuang air panas ke gelas, lalu menaruhnya di meja kecil dekat sahabatnya. “Minum dulu. Aku nggak mau kamu ikut stres.”
Namun, Siska tidak minum. Ia meletakkan kertas-kertas tagihan itu di depan Aruna. “Run, ini serius. Kalau kamu terus-terusan kayak gini, aku takut debt collector itu datang lagi. Kemarin aja kamu hampir….”
Aruna menunduk, ingat betul kejadian kemarin: dua pria berjaket hitam mendobrak pintu rumahnya, berteriak soal utang almarhum ayahnya yang kini diwariskan padanya. Ia hampir pingsan jika Siska tak datang menolong.
“Sudahlah, Sis. Aku nggak mau bahas itu,” katanya pelan.
Siska meraih tangan Aruna. “Dengar, aku dengar kabar ada seseorang yang mungkin bisa bantu kamu. Tapi… syaratnya pasti aneh. Kamu tahu sendiri, nggak ada orang baik hati yang kasih uang miliaran begitu saja.”
Aruna menatap sahabatnya dengan mata penuh tanda tanya. “Maksudmu?”
Siska menunduk, ragu. “Namanya Adrian Mahendra. Katanya dia orang kaya gila-gilaan, CEO muda yang suka main dengan aturan sendiri. Dia terkenal dingin, nggak punya hati. Tapi… ada yang bilang kalau dia kadang suka ‘menolong’ orang, dengan cara yang… ya, kamu tahu lah.”
Aruna terdiam. Nama itu asing, tapi nada suara Siska membuatnya gelisah.
“Run, aku nggak maksain. Aku cuma”
Aruna memotong, “Nggak usah dilanjutin, Sis. Aku tahu maksudmu. Kalau benar dia menolong dengan cara… begitu, aku nggak bisa.”
Siska menggigit bibir, lalu berdiri. “Aku tahu kamu keras kepala. Tapi kalau keadaan udah kepepet, mungkin kamu akan mikirin lagi.”
Hening. Hanya suara kipas angin tua yang berdecit menemani.
Siang menjelang, matahari makin terik. Aruna berusaha mengalihkan pikirannya dengan mencuci pakaian dan merapikan rumah. Namun, pikirannya terus kembali ke satu hal: ibunya butuh biaya. Banyak.
Sekitar pukul dua siang, telepon rumah sakit masuk. Dokter menagih biaya tambahan untuk perawatan. Angka yang disebut membuat Aruna gemetar.
“Kalau sampai besok belum dibayar, kami terpaksa hentikan beberapa pengobatan, Mbak Aruna. Mohon pengertiannya,” suara dokter di seberang begitu tegas.
Aruna tak sanggup menjawab. Hanya “iya, Dok” yang keluar dari bibirnya sebelum telepon ditutup.
Air mata jatuh. Ia menekap wajah dengan kedua tangan.
Menjelang sore, ketika langit mulai memerah, ketukan keras terdengar di pintu rumah. Aruna terlonjak. Hatinya langsung tahu siapa yang datang.
Dua pria berjaket hitam kembali berdiri di depan pintu.
“Aruna! Kamu pikir bisa kabur terus?” salah satunya membentak.
Aruna mencoba tenang. “Aku janji aku akan bayar. Kasih aku waktu.”
“Waktu? Kamu pikir kami ini panti amal?!” Pria itu mendorong pintu, hampir masuk ke dalam rumah.
“Jangan! Ibu saya sedang sakit!” Aruna berusaha menahan pintu dengan tubuhnya.
Situasi makin kacau. Hingga tiba-tiba, Siska muncul dari gang, menjerit, “Hei! Kalian mau apa?!”
Para debt collector menoleh, mendengus kesal, lalu salah satunya berkata, “Kamu beruntung ada saksi. Tapi ingat, besok kami balik lagi. Kalau nggak ada uang, rumah ini bisa jadi jaminan.”
Mereka pergi, meninggalkan Aruna gemetar di ambang pintu.
Siska cepat-cepat memeluknya. “Run… kamu lihat kan? Ini udah nggak main-main.”
Aruna menangis di bahu sahabatnya. “Aku nggak tahu harus gimana, Sis. Aku nggak punya apa-apa lagi.”