Suara denting gelas beradu terdengar samar di kafe itu, tetapi bagi Aruna, dunia seakan hanya menyisakan satu orang: Adrian Mahendra. Pria itu duduk dengan tenang, tatapannya menusuk, seakan mampu menelanjangi isi hatinya.
Aruna berdiri kaku di depan meja. Ia ingin berbalik dan lari, tetapi kaki seakan menolak bergerak.
“Duduklah,” kata Adrian pelan, namun nadanya seperti perintah.
Aruna menarik kursi dengan tangan gemetar lalu duduk. Detak jantungnya begitu keras, ia khawatir pria itu bisa mendengarnya.
Adrian meletakkan gelas winenya, lalu menatap Aruna tanpa berkedip. “Kamu kembali. Itu berarti, meskipun otakmu bilang tidak, hatimu sudah memberi jawaban.”
Aruna menelan ludah. “Aku… aku belum bilang iya.”
Adrian mengangguk santai. “Tapi kamu juga tidak bilang tidak. Kalau kamu benar-benar menolak, kamu tidak akan ada di sini sekarang.”
Aruna terdiam. Ada kebenaran pahit dalam kata-katanya.
Pelayan datang menawarkan menu, namun Adrian melambaikan tangan, menolak. “Tidak usah. Biar kami berdua saja.”
Pelayan itu pergi, meninggalkan mereka dalam ruang sepi yang terasa semakin menekan.
Adrian membuka jas hitamnya, lalu menyandarkan tubuh pada kursi. “Dengar baik-baik, Aruna. Aku tidak suka basa-basi. Jadi aku akan langsung pada intinya. Satu miliar untuk satu malam. Tidak lebih, tidak kurang.”
Aruna menggenggam erat ujung gaunnya. “Kenapa saya? Kenapa bukan perempuan lain? Saya yakin banyak yang rela melakukan apa saja demi uang sebanyak itu.”
Adrian tersenyum tipis, senyum yang dingin sekaligus misterius. “Benar. Banyak yang rela. Tapi justru itu membosankan. Aku tidak suka perempuan yang datang karena keserakahan. Aku lebih tertarik pada seseorang yang datang karena… terpaksa. Ada ketulusan dalam keputusasaan.”
Aruna menatapnya dengan marah. “Itu kejam.”
Adrian mengangkat bahu. “Kenyataan memang kejam. Dan aku terbiasa membeli apa yang kuinginkan dengan caraku sendiri.”
Aruna menghela napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian. “Bagaimana kalau saya menolak? Apa Anda akan berhenti mengganggu saya?”
Adrian mencondongkan tubuh, menatapnya lebih dekat. Aroma parfumnya menyeruak tajam, maskulin, membuat Aruna makin gelisah.
“Aku tidak memaksa. Kamu bebas memilih. Tapi pikirkan baik-baik: berapa lama lagi ibumu bisa bertahan tanpa obat? Berapa lama kamu bisa sembunyi dari debt collector? Kamu butuh uang, Aruna. Dan aku satu-satunya jalan pintas yang kamu punya.”
Kata-kata itu menohok lebih keras daripada teriakan debt collector sekalipun. Air mata menumpuk di sudut mata Aruna, tapi ia menunduk, menahannya.
Adrian mengeluarkan sesuatu dari tas kulit hitam di sampingnya. Sebuah map cokelat. Ia meletakkannya di meja, lalu mendorongnya ke arah Aruna.
“Ini kontraknya.”
Aruna menatap map itu dengan ngeri, seolah benda itu adalah jebakan. “Kontrak?”
“Ya. Aku tidak pernah melakukan sesuatu tanpa hitam di atas putih. Ada syarat dan ketentuan yang harus kamu pahami. Kalau kamu tanda tangan, berarti kamu setuju. Kalau tidak, aku akan berdiri, pergi, dan menganggap kita tidak pernah bertemu.”
Suara Adrian datar, tapi penuh kuasa.
Aruna membuka map itu dengan tangan bergetar. Di dalamnya ada beberapa lembar kertas, penuh tulisan hukum yang rumit. Namun matanya hanya berhenti pada satu kalimat yang dicetak tebal:
“Satu malam penuh bersama Adrian Mahendra, dengan imbalan uang tunai sebesar Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah).”
Tangannya melemah. Kertas itu hampir terlepas.
Adrian meneguk winenya lagi, santai, seakan yang mereka bicarakan hanyalah transaksi biasa. “Kamu tidak perlu takut. Aku tidak akan melukai. Aku hanya ingin kebersamaan satu malam. Setelah itu, kita selesai.”
Aruna menatapnya dengan mata berkaca-kaca. “Selesai? Benarkah sesederhana itu?”
Adrian tersenyum samar, tapi tidak menjawab. Senyumnya justru menambah kebingungan di hati Aruna.
Jam dinding kafe berdentang sebelas lewat setengah. Waktu terus berjalan. Aruna tahu dirinya harus segera mengambil keputusan.
Di kepalanya, wajah ibunya terbaring sakit. Suara dokter bergema, suara debt collector yang mengancam, semuanya menari di pikirannya.