Langkah Aruna terasa berat ketika ia masuk lebih dalam ke apartemen Adrian. Suara pintu tertutup di belakangnya bergema, menandai bahwa jalan kembali sudah benar-benar hilang.
Ruangan itu terlalu megah. Jendela raksasa terbentang dari lantai hingga langit-langit, menampilkan pemandangan Jakarta malam hari lampu-lampu kota berkelip seperti bintang di bumi. Sofa putih yang lembut, karpet berbulu tebal, rak anggur di sudut ruangan, semuanya menegaskan betapa berbeda dunia ini dengan kehidupannya yang sederhana.
Aruna berdiri kaku di dekat pintu, meremas jemari sendiri. Tubuhnya gemetar, bukan karena dingin, tetapi karena takut.
Adrian meletakkan jasnya di sandaran sofa, lalu duduk dengan tenang. Tatapannya lurus pada Aruna. “Duduklah.”
Aruna menelan ludah. Ia tidak bergerak.
“Aruna.” Suara itu berat, tenang, tapi penuh tekanan. “Jangan membuatku mengulanginya.”
Dengan enggan, Aruna melangkah ke sofa berlawanan dan duduk. Jantungnya berdebar begitu kencang, hingga ia takut Adrian bisa mendengarnya.
“Minum?” tanya Adrian sambil menuangkan anggur merah ke dalam dua gelas kristal.
Aruna menggeleng cepat. “Aku… tidak minum.”
Adrian tersenyum tipis, lalu menuangkan hanya untuk dirinya sendiri. “Baiklah.” Ia menyesap perlahan, seolah menikmati setiap detiknya, sementara mata tajamnya tetap meneliti Aruna.
Keheningan meregang di antara mereka. Hanya suara detik jam dan desiran AC yang terdengar.
Akhirnya Adrian berbicara. “Kamu terlihat ketakutan.”
Aruna menunduk. “Karena aku memang takut.”
Adrian meletakkan gelasnya di meja. Ia condong sedikit ke depan, tatapannya menusuk. “Takut padaku? Atau takut pada pilihanmu sendiri?”
Aruna menggigit bibir. Kata-kata itu menusuk tepat ke hatinya. “Dua-duanya.”
Adrian tertawa kecil, tapi tidak mengejek. “Setidaknya kamu jujur.”
Aruna memeluk dirinya sendiri, mencoba mencari keberanian. “Kenapa kamu memilihku? Dari sekian banyak perempuan, kenapa aku? Aku bukan siapa-siapa.”
Adrian menatapnya dalam-dalam, lalu mengangkat bahu. “Karena kamu berbeda.”
Aruna tertegun. “Berbeda… bagaimana?”
Adrian tidak menjawab langsung. Ia berdiri, berjalan pelan menghampiri jendela besar, menatap pemandangan kota. Siluet tubuhnya berdiri tegak, memancarkan aura kekuasaan.
“Semua orang yang mendekat padaku biasanya punya tujuan: uang, status, atau nama besar. Tapi kamu, Aruna… kamu datang padaku dengan ketakutan, bukan ambisi. Itu menarik.”
Aruna terdiam, bingung apakah harus tersinggung atau merasa lega.
Adrian berbalik, melangkah mendekat. Semakin dekat, Aruna semakin menegang. Jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah.
“Aku tidak akan memaksamu malam ini,” katanya pelan. “Kontrak itu memang jelas, tapi aku bukan binatang. Kamu akan belajar bahwa dunia ini tidak sesederhana hitam dan putih.”
Aruna menatapnya dengan mata berair. “Lalu apa yang kamu mau dariku sekarang?”