Semalam Seharga Satu Miliar

Risti Windri Pabendan
Chapter #4

Bab 4 - Pagi Pertama di Apartemen Adrian

Suara kicau burung samar terdengar di luar jendela tinggi itu. Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis, menciptakan semburat keemasan yang jatuh di lantai marmer putih.

Aruna mengerjap pelan, kelopak matanya terasa berat. Ia terbangun dengan tubuh masih terbalut selimut tipis di sofa empuk. Sekilas ia bingung, hingga semua ingatan semalam kembali menyeruak. Adrian. Kontrak. Apartemen megah ini.

Ia mendesah pelan, menutup wajah dengan telapak tangan. "Ya Tuhan..." bisiknya, separuh tak percaya dengan kenyataan yang ia hadapi.

Aroma kopi segar tercium samar dari arah dapur. Bunyi dentingan sendok mengenai cangkir membuat Aruna menoleh.

Di sana, berdiri Adrian Mahendra. Dengan kemeja putih santai, lengan digulung hingga siku, dan celana hitam rapi, ia tampak lebih manusiawi daripada semalam. Rambutnya sedikit berantakan, namun entah kenapa justru membuatnya terlihat semakin menawan.

Aruna menelan ludah. Jantungnya berdetak aneh.

“Pagi,” sapa Adrian tanpa menoleh, suaranya tenang.

Aruna buru-buru duduk, merapikan selimut. “P… pagi.”

Adrian menaruh dua cangkir di meja makan, lalu berbalik. Senyumnya tipis, bukan senyum mengejek, melainkan senyum formal. “Kopi? Atau kau lebih suka teh?”

Aruna bingung sejenak. “Teh… kalau ada.”

Adrian mengangguk, lalu menyiapkan teh tanpa banyak bicara. Gerakannya tenang, efisien, penuh kebiasaan. Seolah semua sudah teratur dalam hidupnya.

Aruna bangkit, melangkah ragu mendekat. Kakinya menyentuh karpet hangat, membuatnya sedikit lebih tenang.

“Kenapa kau bangun pagi sekali?” tanyanya, hanya untuk memecah hening.

Adrian melirik jam dinding. “Pukul enam bukan pagi sekali. Aku selalu mulai hari dengan kopi. Rutinitas.”

Aruna mengangguk pelan. “Oh…”

Ia merasa canggung, tidak tahu harus duduk di mana. Adrian memperhatikan gelagatnya, lalu berkata, “Duduklah. Kau tamu di sini, bukan tahanan.”

Aruna tersentak, lalu buru-buru menarik kursi. Kata-kata itu menenangkan sekaligus menyindir.

Mereka duduk berhadapan di meja makan besar, hanya ada dua cangkir dan roti panggang. Adrian menyerahkan teh pada Aruna. “Minumlah, wajahmu pucat.”

Aruna meraih cangkir dengan tangan gemetar, lalu menyeruput perlahan. Kehangatan teh menyebar di tubuhnya, sedikit meredakan ketegangan.

Adrian memperhatikannya sejenak, lalu berkata pelan, “Kau tidur di sofa sepanjang malam?”

Aruna mengangguk cepat. “Ya. Itu… sudah cukup.”

Adrian menyandarkan punggung, menghela napas. “Kau keras kepala.”

Aruna tersentak. “Kenapa?”

“Kau bisa saja tidur di kamar tamu. Tapi kau memilih sofa.” Senyum tipis terulas di bibir Adrian. “Apakah kau takut aku akan masuk ke kamar tamu?”

Lihat selengkapnya