Semalam Seharga Satu Miliar

Risti Windri Pabendan
Chapter #5

Bab 5 - Antara Rumah Sakit dan Kampus

Mobil hitam itu berhenti di depan rumah sakit pusat. Aruna segera turun, langkahnya tergesa sambil menenteng tas kecil. Sopir Adrian hanya menunduk sopan, lalu berkata singkat, “Saya menunggu di sini, Nona.”

Aruna mengangguk kaku. “Terima kasih.”

Udara pagi yang semula terasa segar berubah menyesakkan begitu ia masuk melewati pintu rumah sakit. Bau obat, suara alat medis, dan derap langkah para suster membuat dadanya berdesir cemas. Ia berlari kecil menuju ruang rawat Ibu.

Di sana, seorang wanita paruh baya terbaring dengan selang infus menusuk pergelangan tangan. Wajahnya pucat, namun masih berusaha tersenyum ketika melihat Aruna datang.

“Aruna…” suara sang Ibu lemah tapi hangat.

Aruna segera mendekat, menggenggam tangan ibunya. “Ibu, bagaimana perasaan Ibu hari ini?”

“Sama saja, Nak. Jangan terlalu khawatir,” jawab sang Ibu, meski jelas rasa sakit tergambar di wajahnya.

Aruna menunduk, air mata nyaris jatuh. Ia ingin menceritakan segalanya, tentang kontrak, tentang malam penuh harga diri yang telah ia korbankan. Tapi bibirnya terkunci. Bagaimana mungkin ia tega mengatakan itu pada wanita yang selalu mengajarkannya untuk hidup dengan kehormatan?

Tak lama kemudian, seorang dokter masuk dengan wajah serius. “Mbak Aruna, saya perlu bicara sebentar.”

Aruna menoleh cepat. “Iya, Dok.”

Mereka keluar ke lorong. Dokter itu membuka berkas, lalu berkata tegas, “Kami sudah menahan jadwal operasi Ibu Anda dua kali. Kalau tidak ada pembayaran dalam tiga hari ini, kami tidak bisa menunda lagi. Risikonya terlalu besar.”

Aruna merasa lututnya goyah. “Tiga… hari?”

Dokter mengangguk. “Benar. Biaya tahap pertama minimal 300 juta.”

Kata-kata itu menghantam seperti palu godam. Meski sudah menerima uang dari Adrian, rasanya jurang kewajiban semakin dalam.

Aruna menunduk, memejamkan mata. “Baik, Dok… saya akan usahakan.”

Setelah dokter pergi, Aruna berdiri di lorong sendirian. Suara-suara rumah sakit bergema samar, tapi pikirannya hanya dipenuhi dengan angka, hutang, dan kontrak yang menghantuinya.

Ia meremas tas kecilnya, napas terengah. “Satu miliar… tapi apakah cukup untuk semua ini?”

Setelah beberapa jam menemani sang Ibu, Aruna akhirnya pamit untuk ke kampus. “Bu, aku harus masuk kelas. Jangan khawatir ya, aku akan segera kembali.”

Ibunya hanya mengangguk lemah. “Hati-hati, Nak.”

Saat keluar, ia melihat sopir Adrian masih setia menunggu di parkiran. Mobil hitam itu membuat beberapa orang memperhatikannya, seolah Aruna adalah orang penting. Padahal hatinya semakin tercekik.

Di perjalanan menuju kampus, Aruna duduk diam, menatap keluar jendela. Setiap lampu lalu lintas terasa seperti jeda panjang bagi pikirannya yang penuh beban. Wajah Adrian sesekali muncul di benaknya tatapannya, ucapannya, bahkan senyum tipis yang entah kenapa selalu sulit dihapus.

“Apa aku sudah menjual jiwaku padanya?” gumamnya lirih, nyaris tak terdengar.

Begitu mobil berhenti di depan kampus, beberapa mahasiswa sempat melirik heran. Mobil mewah hitam dengan sopir jelas bukan hal biasa bagi seorang mahasiswi sederhana seperti Aruna.

Ia buru-buru turun, menunduk, lalu melangkah cepat ke gedung kuliah. Namun matanya tak luput dari tatapan penuh tanya beberapa temannya.

“Aruna?” sebuah suara memanggil dari arah tangga.

Aruna menoleh, menemukan Siska, sahabat dekatnya, berdiri dengan tatapan curiga.

“Kok… turun dari mobil kayak gitu?” tanya Siska sambil mengerutkan kening.

Aruna tercekat. “Ah… itu, aku… nebeng sama temen Ibu.”

Siska menaikkan alis. “Temen Ibu? Mobilnya aja kayak bos besar, Run.”

Lihat selengkapnya