Menembus Kabut Penghalang
Latihan sore Timnas U-19 dimulai tiap pukul 15.00 di lapangan bola belakang Hotel Kusuma Agrowisata. Pada jam yang sama, dengan disiplin waktu yang ketat, semua pemain dan pelatih sudah berkumpul di lapangan hijau. Cuaca mendung sore itu. Langit Desember siap mencurahkan hujan tiap saat. Setelah pengarahan oleh para pelatih yang diakhiri dengan doa dan teriakan “semangat!” sampai tiga kali, para pemain dibagi menjadi lima kelompok dan memulai latihan dengan pemanasan di kelompok masing-masing. Coach Nur Saelan, yang baru tiba dari sebuah acara coaching clinic di luar Jawa, langsung memimpin latihan fisik. Pelatih fisik yang selalu bercanda mengatakan dirinya sebagai pelatih fisik plus-plus ini tak tampak lelah, meskipun baru saja tiba dari perjalanan jauh.
Mengapa Coach Nur Saelan menyebut dirinya sebagai pelatih fisik plus-plus?
Mengapa Coach Nur Saelan menyebut dirinya sebagai pelatih fisik plus-plus?
“Saya memang tidak hanya melatih fisik dalam pengertian sempit. Konsep latihan fisik yang saya terapkan juga bertujuan melatih kecerdasan para pemain dalam memanfaatkan kekuatan dan ketahanan fisik mereka,” jelas Coach Nur.
Pelatih yang satu ini memang selalu mencari terobosan dan konsep alternatif sesuai dengan kebutuhan program yang dirancang Indra Sjafri beserta jajaran kepelatihan Timnas. Metode yang dipakai dalam melatih fisik disebutnya sebagai fun conditioning. Coach Nur yang juga berprofesi sebagai seorang dosen di Universitas Negeri Jakarta ternyata hobi membaca buku-buku filsafat. Suatu hobi yang mungkin terbilang langka di kalangan pelatih sepak bola pada umumnya.
Salah seorang penulis ulasan sepak bola yang disukainya, Sindhunata, juga selalu menyelipkan muatan filosofis dalam tiap tulisannya. Coach Nur bisa membahas panjang lebar tentang berbagai referensi yang dibaca, termasuk buku-buku filsafat, terutama pemikiran filsafat zaman Yunani. Ia tahu tentang Socrates. Ia juga bisa memahami pemikiran Plato dan Aristoteles dengan baik.
“Saya ini tadinya sempat ingin masuk ke Jurusan Filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara atau Universitas Indonesia. Lalu, sempat juga mempertimbangkan masuk Institut Agama Islam Negeri Syarif Hidayatullah, tetapi karena pertimbangan yang lebih pragmatis, akhirnya saya masuk IKIP dan mengambil jurusan somatologi atau kepelatihan,” tutur Coach Nur.
Sebagai seorang pelatih sekalius pengajar, Coach Nur memiliki budaya membaca dan cara berpikir yang rasional. Koleksi buku di rumahnya lumayan banyak, mulai dari komik sampai sastra dan filsafat. Itulah yang membuatnya mampu mempertimbangkan berbagai teknik dalam melatih anak-anak Timnas U-19 demi mengembangkan dan menerapkan konsep sekaligus terobosan baru.
Sebagai seorang pelatih sekaligus pengajar, Coach Nur memiliki budaya membaca dan cara berpikir yang rasional.
Ia penggemar karya sastra Indonesia, mulai dari Sutan Takdir Alisjahbana, Mochtar Lubis, Iwan Simatupang, sampai Ahmad Tohari. Karya para sastrawan besar itu diingat dengan baik oleh Coach Nur. Sayangnya, anak muda zaman sekarang. jika ditanya nama para sastrawan itu, sedikit sekali yang masih mengetahuinya. Budaya membaca yang semakin rendah di kalangan anak muda Indonesia kini membuat mereka tak lagi mengenal karya besar sastrawan Indonesia. Padahal, berkat hobi membacanya, Coach Nur benar-benar bisa menjadi pelatih fisik plus-plus.
“Dalam melatih fisik ada berbagai pendekatan yang harus dilakukan pelatih. Hal itu disesuaikan dengan aspek psikologis anak-anak sehingga meskipun latihannya berat, mereka tetap merasa senang ketika menjalani. Ini yang saya sebut sebagai fun conditioning. Hasilnya pasti akan berbeda jauh dibanding jika mereka merasa tertekan atau terpaksa dalam menjalani latihan fisik,” jelasnya.
Prinsip ini bukan merupakan sebuah prinsip yang eksklusif, melainkan justru sudah terbukti berlaku dalam berbagai bidang kehidupan. Jika seseorang memakai otoritas atau kekuasaan untuk memaksa orang lain melakukan sesuatu, tidak ada lagi fun conditioning. Namun, jika seseorang berhasil membuat orang lain melakukan sesuatu dengan sukarela, kondisinya pasti jauh lebih menyenangkan. Seorang ayah yang otoriter akan ditakuti oleh anak-anaknya. Tak hanya itu, si anak pun akan selalu merasa tertekan ketika harus mengambil keputusan.
Pendekatan personal yang persuasif akan menguatkan hubungan antara pelatih dan anak didiknya dalam hubungan yang lebih didasari kesadaran akan tanggung jawab masing-masing. Coach Nur menegaskan, metode fun conditioning yang dilakukannya itu tidak bertabrakan dengan sikap tegas yang harus dimiliki para pelatih, terlebih jika kedua belah pihak sudah menyadari tanggung jawab dan kewajiban masing-masing. Sama halnya dengan seorang ayah yang dihormati dan disayangi anaknya, bisa membuat si anak melakukan perintah atau keinginannya tanpa membuat sang anak tertekan.
“Tetapi, saya tetap marah dan membuat anak-anak takut jika mereka melakukan kesalahan atau tidak melakukan tugas dan tanggung jawabnya, atau jika mereka melakukan pelanggaran-pelanggaran,” tambah Coach Nur.
.
Siluet dan Tekad Seorang Anak
Coach Nur memulai latihan sore itu seperti biasanya. Sejumlah penggemar Timnas U-19 yang sore itu datang menonton di pinggir lapangan juga tampak bersemangat. Ada satu keluarga datang dari Trenggalek, kota berjarak sekitar empat jam perjalanan ke Batu. Pasangan suami-istri dari Trenggalek itu datang bersama dua anak mereka hanya untuk menonton latihan Timnas U-19 sore itu. Rupanya, anak pertama mereka, Yudi, yang berusia 11 tahun juga seorang pemain sepak bola di sekolahnya dan menjadi penggemar berat Timnas U-19. Anak kedua mereka baru berusia sekitar 3 tahun, seorang gadis kecil yang juga “sudah bisa” asyik menonton latihan Timnas U-19 sore itu. Ia tak tampak rewel dan malah terlihat bersemangat.
Saat latihan baru berjalan sekitar 20 menit dan memasuki latihan game, hujan mulai turun. Awalnya hanya hujan kecil yang tak digubris para penonton. Mereka membiarkan hujan kecil itu membasahi tubuh sambil tetap asyik menonton. Sepak bola memang tontonan yang memiliki daya pukau dan pesona yang sangat besar. Mampu menghipnotis jutaan penonton untuk tak peduli pada hujan atau panas. Sepak bola mampu menyatukan kekuatan dan menembus berbagai kabut penghalang. Para pemain ibarat magnet yang mampu menarik semua perhatian para penonton.
“Saya selalu mengingatkan dan menegaskan kepada semua pemain untuk tidak merasa lebih besar daripada bangsanya sehebat apa pun prestasi yang berhasil mereka capai,” ujar Coach Indra terkait dengan hebatnya kekuatan personal yang bisa muncul dari diri seorang pemain sepak bola.
Ini hal penting dalam pembentukan karakter atau character building para pemain Timnas U-19. Menempatkan diri secara tepat sesuai predikat tim nasional harus menjadi dasar karakter tiap pemain. Tim nasional, sesuai namanya, adalah tim yang menjadi wakil negara di dunia sepak bola. Ke mana saja mereka berlaga, predikat itu melekat. Mereka adalah putra-putra terbaik bangsa yang harus paham cara menjaga sikap, perilaku, dan watak sebagai wakil negara.
Menempatkan diri secara tepat sesuai predikat tim nasional harus menjadi dasar karakter tiap pemain.
Hujan tiba-tiba menjadi sangat deras disertai angin dan kabut. Para penonton pun lantas meninggalkan pinggiran lapangan yang tak dilengkapi tribun atau tempat yang bisa digunakan untuk berteduh. Sosok-sosok pemain Timnas: Muchlis, Maldini, Putu, Evan, Fathur, penjaga gawang Ravi, Eriyanto, dan pemain-pemain lain pun terlihat seperti siluet-siluet yang bergerak menembus kabut. Siluet-siluet itu bergerak cepat, lincah, dan tak tergoyahkan oleh angin dan hujan. Seperti para pendekar di negeri kabut yang tengah bertarung memberantas kejahatan.
Mereka menembus semua kabut penghalang yang menyebarkan tajamnya udara dingin. Hawa yang membekukan tubuh tidak membuat mereka kalah atau kehilangan kekuatan dan kecepatan. Dan, ketika hujan menderas diikuti angin dan kabut yang menebal, mereka tetap bergerak melanjutkan permainan dalam pengawasan para pelatih yang juga tak menggubris hujan dan dingin. Para pelatih tak kalah hebat, mereka juga bergerak di bawah hujan angin dan kabut dengan tenang. Sosok mereka seperti tonggak-tonggak kokoh yang tak tergoyahkan.
Siluet-siluet di tengah hujan angin dan kabut itu seperti tengah menarikan tarian bumi yang indah. Para penonton sudah meninggalkan lapangan. Namun, di satu pinggiran lapangan, masih tampak dua sosok yang tetap berdiri tanpa peduli hujan deras yang mengguyur. Ternyata mereka adalah Yudi dan ayahnya, penonton yang datang dari Trenggalek. Mengenakan jaket bertutup kepala, Yudi yang bertubuh kurus tetap tegak berdiri menonton Timnas U-19 yang diidolakannya ditemani sang ayah. Ibu dan adik kecilnya meneduh ke dalam kawasan hotel di teras kamar-kamar para pelatih, bersama beberapa orang penonton lain.
“Ya, itu anak saya tidak mau berteduh. Ia lebih baik kehujanan daripada tidak meneruskan nonton latihan Timnas U-19. Ia dari kecil sudah main bola juga. Gila bolalah,” ujar ibu Yudi menjelaskan kecintaan anaknya pada sepak bola.