Sembilan belas sembilan-sembilan

Suyanti
Chapter #2

tantangan tapi bukan halangan

Hari ini, hari ulang tahunku yang ke 19, kak Alief datang, mengeluarkan sesuatu dari balik bajunya dan memberikanya padaku, “selamat ulang tahun”, ucapnya sambil mengecup keningku, aku tersenyum dan mengucapkan terimakasih, ”apa nih?” tanyaku penasaran, ”buka saja, mudah-mudahan kamu suka” katanya sambil membantuku membuka pembungkus kadonya. sebuah kotak transparan berisi 2 boneka beruang warna kuning yang lucu, aku tak bisa menyembunyikan wajah bahagiaku, “wah bagusnya, aku suka ... terimakasih kak” ucapku, sebenarnya bukan masalah dia mau kasih apa, tapi rasa bahagia itu ada, karena aku merasa diperhatikan, meski mungkin dihatinya belum ada rasa cinta yang sesungguhnya mengingat kami baru beberapa hari jadian, terimakasih kak, sudah berusaha membuatku bahagia, dan … iya aku bahagia.

Hari yang melelahkan, atau memang tubuhku saja yang sedang merasa lelah, kepalaku pusing, nafasku terasa panas, begitu sampai kontrakan, kurebahkan diri hingga tertidur, menjelang magrib Kak Alief membangunkanku karena aku tertidur sedang pintu masih terbuka, ”bangun Nan, magrib”, “badanmu panas, kamu sakit?” lanjutnya setelah memegang lenganku, ” tau nih, pusing” jawabku sembari beranjak bangun, kutinggalkan dia karena harus buru-buru mandi, setelah sholat magrib dia kembali mendatangiku, “masih panas, mau dibelikan obat apa?” tanyanya saat menyentuh keningku, ”aku sudah minum obat, tu bekasnya” aku menunjuk kulit obat demam yang baru saja kuminum, dia memandangku iba, “cepat sembuh ya!” ucapnya kemudian “Rasta ga kesini?” tanyanya mungkin karena biasanya Sineng selalu disini, aku hanya menggeleng, “sini aku coba pijit pundakmu” katanya sambil bergeser kebelakangku, ia memijit pundak dan tengkukku hingga kepala yang tadinya berat berasa lebih ringan, ”makasih kak, udah enakan”, kataku, “ya sudah bawa istirahat, aku tinggal sebentar ga pa pa ya?” ucapnya “iya ga apa-apa, sudah malam juga mau langsung tidur” jawabku, “sendirian ga pa pa? tadinya aku mau panggil Rasta biar nemenin” katanya lagi, “eh ga usah, cape juga dia kaya’nya, hari ini banyak kerjaan dipabrik” jelasku, ”oh ya sudah, bawa tidur aku masih mau ngobrol didepan sama yang lain, kalau mau apa-apa panggil saja ya”, aku mengangguk sambil tersenyum mengikuti langkahnya untuk mengunci pintu.

Paginya, aku sudah siap berangkat, tapi kepala masih pusing, badan masih panas, dan sangat tidak nyaman, kak Alief datang untuk menanyakan keadaanku, mengetahui keadaanku belum baik, diapun berkata ”ayo kuantar keklinik depan, nanti kan dikasih surat ijin jadi istirahat dulu hari ini” aku merasa masih kuat, tapi kupikir dia benar juga, takutnya malah sakit berkepanjangan, kamipun pergi keklinik yang ga jauh dari kontrakan, pulang dari klinik Sineng sudah menunggu dikontrakan, jadi kutitipkan surat ijin dari dokter padanya, dia menatapku seolah meminta penjelasan kenapa bersama kak Alief, tapi aku tak ingin membahasnya, ku ingatkan waktunya berangkat kerja, diapun berlalu, kamipun masuk, kak Alief membantuku menyiapkan obat yang harus kuminum kemudian pamit untuk berangkat kerja, ”terimakasih kak” ucapku untuk semua yang dilakukannya, dia hanya tersenyum dan berlalu.

Kuhabiskan waktu hanya berbaring seharian, tapi bukannya baikan malah muntah-muntah, entah berapa kali bolak-balik kamar mandi membuatku merasa lemas, hingga sore Sineng pulang langsung kekontrakanku, ia memaksaku untuk dikerik, aku menurut saja lagipula badanku sudah lemas tak berdaya, setelahnya Sineng pamit malam ini nginep dirumah saudara, “ga apa-apa ku tinggal?” katanya, “ga pa pa sudah enakan setelah dikerik” jawabku. Kak Alief datang “lah belum baikan?” ia bertanya ”baikan gimana malah muntah-muntah seharian sampai lemes, masuk angin dia tuh ... tapi sudah dikerik mudah-mudahan baikan” Sineng menjawab sambil beranjak pulang, ”mau kemana temannya sakit bukan ditungguin” kata kak Alief, “Ga apa-apa kak, dia harus nginep dirumah saudara” jawabku, ”oh ... ya sudah nanti minta tolong Kus minta ditemenin, aku bersih-bersih dulu ya!” ucapnya sambil melangkah keluar. Aku menghela nafas, aku tau sebenarnya hatinya belum benar-benar ada untukku, tapi dia sudah mau menunjukan perhatiannya, terimakasih Tuhan, Kau kirimkan orang-orang baik disekitarku.

Pagi ini sudah baikan, seperti kemarin, ia menanyakan keadaanku, kubilang sudah baik, sudah sehat dengan tersenyum riang, untuk meyakinkannya, tak lupa kuucapkan terimakasih untuk perhatiannya, dia tersenyum “sudah seharusnya, kita kan pacar ... " lanjutnya menggodaku, membuatku jadi salah tingkah. Sineng datang, aku berpamitan padanya, ada banyak rasa dan tanya bercampur menjadi satu, walaupun kita memang sedang mencoba untuk bersama, tidakkah ini terlalu awal untukku jatuh cinta? bagaimana jika itu tidak terjadi padanya? memikirkannya membuatku merasa takut.

Sejujurnya, aku memang bahagia dengan perhatiannya, tutur lembutnya saat berbicara denganku itu tidak sama dengan cara bicaranya pada teman-teman yang lain, logat lampung tapi lembut, itu hanya kudengar darinya, dan memperhatikan dia dari dekat beberapa hari ini, ternyata dia itu ganteng, bermata belok dengan bulu mata lentik, nada suaranya rendah dan postur tubuhnya yang ga terlalu tinggi serasilah denganku, hmm, aku berhasil menemukan sisi positifnya dan aku suka, bagaimana dengannya? Apa yang sudah bisa dilihatnya dariku? Aku merasa belum bisa memberikan kesan yang baik padanya, mana mungkin dia suka padaku, aku mulai gelisah, mungkin sebaiknya aku menjauh sebelum hatiku terlalu dalam padanya, kurasa itu lebih aman, lagi pula dia itu punya banyak hal untuk bisa menarik perhatian wanita manapun, lah ya sudah menjauh saja.

Lihat selengkapnya