Pagi hari kemudian, Sineng yang menginap dari semalam membuka pintu, “mau kemana masih pagi” kataku masih dengan mata merem, ”pulang, nyuci” jawabnya, “tutup lg pintunya” pintaku tanpa membuka mata, "bangunnn dah siang tu …” seketika aku bangun dan membuka mata, "hik ... kak Alief ....” ucapku malu, melihatnya sudah rapi dan wangi, kututup wajahku dengan bantal, tak ingin terlihat olehnya, "ngapain ditutup? Aku dah lihat tadi, he ... he, mandi sono” ucapnya, “ga mau kemana-mana ‘kan? aku pengen tidur sampai sore” ucapku karena mata masih terasa perih.
“Eh, ga boleh gitu, anak gadis tu ga boleh males ... buruan mandi, ni digangguin ni ... ha ... ha” katanya sambil menggelitik samping perutku hingga membuatku menggeliat kegelian dan terpaksa beranjak untuk mandi, sampai diluar kulihat sepi, kemana para tetangga pikirku, Teh Ai’ dan Shanti semalam bilang mau pulang, jadi mungkin sekarang sudah berangkat, Kus dan mba’ Endah juga tidak dikamar sepertinya, sendalnya ga ada didepan pintu, “pada kemana tetangga, kak?” tanyaku setelah selesai mandi, “ga tau dah pada pergi tadi pagi, kamu pengen kita keluar? Main kerumah temanku mau ga? di sekitar KM 13, teman cewek satu kampung” tanyanya lengkap dengan penjelasannya, “maulah ayok berangkat!” jawabku semangat.
Kitapun berangkat, dia bilang KM 13, kupikir disebelah kiri jalan, ternyata menyeberang kekanan jalan, memasuki gang kecil yang ternyata didalamnya begitu padat rumah dan kontrakan, sampailah kita disebuah kontrakan, dimana 2 gadis cantik tinggal, mereka itu teman yang dimaksud, baik, ramah, salah satunya bilang pernah melihat ibunya kak Alief, putih, cantik katanya, dari situ aku menyimpulkan mereka bukan tetangga dekat, bisa jadi berbeda desa atau setidaknya tidak satu RT, tapi sepertinya mereka akrab.
Kak Alief terlihat begitu nyaman, sampai tidur-tiduran dipangkuanku, membuatku agak merasa risih, apalagi itu pertama kali, karena saat berdua dikontrakan pun dia belum pernah begitu, aku tidak keberatan, hanya kurang merasa nyaman, perlahan kuangkat kepalanya memintanya bangun, sepertinya dia mengerti ketidaknyamananku, aku merasa tidak enak, jadi kubisikan “nanti dikontrakan kita sendiri” sambil tersenyum, diapun tersenyum, “ya sudah, ayo pulang!” katanya, “lah, kubilang nanti, kalau masih mau main, main saja dulu” kami saling berbisik, tapi kemudian dia berpamitan.
Sesampai dikontrakan, masih sepi, tapi sepertinya Sineng tadi datang, ada sepiring misro tertutup kertas, aku menawarinya, tapi dia menolak, dia memintaku duduk, dan langsung merebahkan kepalanya dipangkuanku, “ada apa si? Tumben manja amat?” tanyaku sambil membelai wajahnya, ”lagi pengen aja, tadi katanya boleh” jawabnya, ”iya, boleh, kan cuma nanya, mm ... sering tidur dipangkuan ibumu?, karena tadi mereka sempat cerita tentang ibumu ...” dia tidak menjawab, malah berbalik, memeluk pinggangku, dan membenamkan wajahnya diperutku, ya sudah, biarkan saja pikirku.
Kubelai rambutnya, pria dewasa yang bertingkah seperti anak kecil, membuatku gemas sekaligus merasa semakin sayang melihat dia seperti itu, setelah beberapa saat dia tidak bergerak, kugeser sedikit kepalanya takut sulit bernafas karena wajahnya seperti menempel diperutku, sepertinya dia tertidur, sama sekali tidak bereaksi ... kupandangi wajahnya, hingga Kus dan Sineng datang tertawa-tawa dengan berisiknya ... “ssstt … ” kataku sambil menempelkan telunjuk dimulut, tapi kak Alief terlanjur terbangun, kemudian pamit pengen tidur katanya, akupun mengiyakan sambil tersenyum sedikit menyesal.
Kus dan Sineng tertawa cengengesan menggodaku, kemudian bercerita dengan hebohnya, barusan habis ikut nyawer di depan katanya, sambil menyodorkan segenggam permen, aku mengambil satu dan memakannya, sambil bertanya, “nyawer kok dapat permen?” Tanyaku heran, karena yang ku tau, nyawer itu memberikan uang tip sambil berjoget dengan artist diatas panggung, itupun kulihat di tv, "lik Darwi anaknya sudah bisa jalan, disawer” kata Sineng, “nanggap dangdutan?”, tanyaku, mereka saling pandang dan tertawa ngakak, “apanya yang lucu?” nadaku mulai meninggi, “kamu” kata mereka berbarengan, sambil terus tertawa, hahhh ya sudahlah kurasa ada sesuatu yang aku nggak tau, pikirku, ga mau bertanya-tanya lagi, yang hanya membuatku menjadi bahan tertawaan mereka.
Mba’ Endah datang membawa buku semacam diary berwarna ping, “hai semua ... bantuin aku dong” katanya, serempak kami menatapnya, ”dua minggu lagi hari ultahku, pengen bikin acara semacam pesta sedherhana gitu, kita-kita aja yang dikontrakan sini, Rasta udah pasti ikutan yaa” lanjutnya, ”dua minggu lagi kan sift 2, hari apa jam berapa?” tanya Sineng, “sabtu sore, ya sekitar abis isya’ paling” jawab mbak Endah, ”lah sabtu mah ga bisa kan kita sift 2” kata Sineng sambil merangkul pundakku.
“Minta dibantuin apa mbak?” tanyaku selanjutnya, “mm ... ada ide ga kira-kira acaranya mau bagaimana? Biar seru gitu” jelas mbak Endah “mmm ... aku ga tau, belum pernah ikut pesta ultah gadis ... hik, tapi kalau yang datang cuma anak-anak sini, bikin game lucu-lucuan aja mbak!, trus nanti yang kalah dpt hukuman apa kek gitu yang bisa bikin tertawa” kataku ketika mendadak ada yang terlintas dikepala.
“Trus yang menang dikasih apa?” tanyanya, “ya ga dikasih apa-apa ... yang dapat hadiah kan yang ultah, apa mau dibagi?” Kus nyeletuk ... diikuti tawa kami semua ”ha ... ha ... ya ..., gamenya ga nyari pemenang tapi nyari yang kalah, hukumannya juga jangan yang berat-berat, suruh joget atau suruh nyanyi tapi lagu anak-anak ... atau siapin lagu yang syairnya diganti kata-kata lucu gitu ... ha ... ha ... kayaknya seru!” jelasku merasa seru sendiri, “iya tu ... seru-seru, gamenya mbetusin balon aja trus di dalamnya dikasih tulisan hukuman ... jadi semua kena!” mbak Endahpun mendapat ide lagi, dan terlihat begitu semangat.
Acaranya sabtu sore, minggu ini sift 3 dan minggu depan berarti sift 2 aku ga akan bisa bergabung saat acara tapi setidaknya aku bisa membantu apa saja sebelum berangkat kerja, dan melihat hasil akhirnya di album foto nanti, karena mbak Endah bilang akan menunjuk seseorang untuk menjadi fotografernya.