Sembilan belas sembilan-sembilan

Suyanti
Chapter #9

pelukan damai

Sampai juga dihari sabtu, besok tidak lembur, aku pengen langsung ketempat ibu, berangkat sore ini sampai senin sore baru pulang, lumayan, bisa menginap dua malam, embah dan ibuku pasti senang, aku buru-buru pulang, berharap dia belum berangkat, jadi bisa bilang dulu, tapi sayangnya, yang kudapati sepatunya sudah tidak ada didepan pintu yang tertutup rapat, dia sudah berangkat, minggu ini waktu kita sedikit, takutnya dia ingin ada waktu bersama, ya sudah besok saja ke Jakartanya, Malam minggu, tanpa dia he ... he ..., sepi rasanya, kulihat keluar, teh Ai’ sedang bersiap untuk pergi, ”kemana teh?”, tanyaku, karena ia terlihat terburu-buru, ”pulang Nan” sepertinya ada sesuatu, tapi aku tidak berani bertanya, ” iya teh hati-hati dijalan” kataku akhirnya, ”iya, terimakasih”, katanya, terus bergegas pergi.

Kus dan Mbak Endah juga keluar dari sore tadi saat aku baru mau mandi, ya sudah, akupun masuk lagi karena tidak ada orang diluar, kututup pintu tanpa menguncinya, aku ingin tetap terjaga hingga dia pulang nanti, entah berapa kali aku melihat jam, sepertinya dia tidak bergerak, sampai kulepas dari pergelangan tangan untuk meyakinkan bahwa itu tidak rusak, baru jam 8, jam 12 nya masih lama lagi, memang sudah terasa mulai mengantuk, tapi enggak boleh, harus bertahan pikirku, masa iya dia terus yang bangunin, harus kuat, kulihat lagi masih jam 8 lewat sepuluh menit, mata sudah terasa semakin berat, hingga akhirnya tertidur lagi seperti hari-hari sebelumnya.

“Kakk”, panggilku saat kurasakan ada hembusan nafas hangat dipipiku, “sudah bangun, baru mau dibangunin ... he ... he” katanya terlihat kaget, “kak, aku pengen ketempat ibu besok, pagi atau sore?” tanyaku langsung, takut dia keburu pulang, ”mau nginep enggak?” dia balik bertanya, “ngineplah, pulang senin sore kan langsung sift 3” jawabku, dia memperhatikanku sebentar, “siang aja ya? Aku pengen kita bisa ngobrol dulu paginya” katanya sambil tersenyum, ”yuk kunci pintunya, bobo, besok bangun pagi ya … sayang” terdengar ragu-ragu dia memanggil sayang, “jangan dipaksakan kalau tidak bisa memanggil sayang ...” kataku menahan tawa, “sebenarnya bukan terpaksa, tapi takut kamu muntah dengarnya ... ha ... haa” katanya sambil tertawa, aku yakin sampai didalam rumah dia pasti masih tertawa sendiri, karena aku juga sama.

Aku sengaja bangun lebih awal, ga tanggung-tanggung jam 4 pagi, langsung mandi sekalian mencuci pakaian kotorku, berharap saat aku berangkat ke Jakarta siang nanti semua sudah kering, setelah selesai aku duduk sebentar menunggu agak terang, kira-kira jam setengah enam aku kerumah Rasta, mengajaknya membeli nasi uduk yang dulu pernah dia bilang enak, kami pun pergi berdua, sepanjang perjalanan kami mengobrol, tak lupa aku pamit, nanti siang mau pulang ketempat ibu di Jakarta.

jam 6 lewat aku sudah sampai dikontrakan, aku langsung menyiapkan dua piring untuk sarapan berdua, dan menunggunya diteras, tapi sampai hampir jam setengah delapan dia belum keluar juga, yaa harusnya masih hangat, jadi dingin deh nasi uduknya, katanya mau bangun pagi-pagi, pikirku mulai tidak sabar, tapi tetap tidak berani mengetuk pintunya, ya sudah kutunggu saja sampai dia bangun.

”Woy, ngapain bengong sendirian?” Shanti yang baru pulang kerja mengagetkanku, “he ... he ... enggak apa-apa” jawabku salah tingkah, “ketuk, jangan dilihatin aja, lagi marahan ya? Ha ... ha ...” kata Shanti sok tau, dan tawanya itu kenceng banget ... “ jangan kenceng-kenceng orang masih pada tidur ...” kataku sambil merangkulnya kekamarnya, biar ga berisik lagi, ”ih, atuh biarin ... woy bangun woy ... udah siang” dia malah teriak-teriak ga jelas, ”iya, ntar orang pada bangun trus elunya tidur ... dasar ... udah masuk situ tidur ... ha ... ha” aku tertawa dengan kencang tanpa kusadari.

Pintunya terbuka, dan dia keluar masih sambil mengucek matanya, “Tuh kan ... maaf kak, Shanti ni yang berisik” kataku sambil merangkul kepala Shanti, dia tersenyum melihat tingkah kami, dan bilang, ”sudah terang ternyata ya ...” dan bergegas mandi, akupun pulang, karena Shanti juga pasti ingin tidur setelah sift malam, tak lama kemudian dia datang, “sarapan dulu yuk!, tapi udah dingin nasinya ... ga pa pa yaa?” kataku sambil membuka bungkusan nasi untuknya, ” iya, kamu bangun jam berapa? tadi subuh-subuh udah abis nyuci kayaknya”, katanya dan mulai menyendok nasinya, ”jam 4, kan biar kering nanti pas berangkat” jawabku, “trus abis itu tidur lagi?” katanya sambil tersenyum.

”Enggak tidur, cuma menunggu terang sebentar trus beli nasi uduk sama Rasta”, jawabku, ”ini nasi dari tadi pagi?” tanyanya, ”iya, kenapa? ga mau?” aku balik bertanya, ”bukan, aku mau, tapi kenapa ga bangunin, saat aku bangun kulihat masih sepi, jadi kukira abis nyuci kamu tidur lagi, makanya aku juga tidur lagi, ”ucapnya terlihat menyesal, ”engga ih, kita kan tidak sedang buru-buru mau kemana-mana, kalau soal nasi ... dingin juga masih enak, cuma kerupuknya aja jadi letoy . .. ha ... ha ...” kataku sambil menunjukkan kerupuk yang sudah melempem “kamu tuh ... bisaa aja ...” katanya sambil tertawa kecil, ”hik … minimalis” celotehku, “apanya?” tanyanya, ”itu ketawamu ...”, jawabku dan ia langsung tertawa lebar “ha ... ha ... ada ya tertawa minimalis?” hmm … akhirnyaa ... bisa juga membuatnya tertawa pikirku.

Sebenarnya ada hal lain yang ingin aku lakukan dengan datang ke pasar rebo kali ini, aku ingin menemui Ranto, dan menjelaskan bahwa ada kesalahpahaman diantara kami, dan kebetulan, tidak perlu mendatanginya, dia yang sudah datang duluan, begitu dia tahu aku sampai ditempat ibuku, dengan alasan pengen es buah, aku mengajaknya keluar.

”Ran, mmm ... aku sudah punya pacar” kataku to the point setelah dari tadi guyonan ga jelas, dia diam, aku melanjutkan bicaraku, ”kamu tuh, ganteng, masih sangat muda, aku yakin, kamu akan dapat cewek yang lebih segalanya dari aku, aamiin yaa, aku ga mau berpikir kalau kamu naksir aku atau semacamnya, ini hanya antisipasi jangan sampai kamu berpandangan berbeda terhadapku, aku lebih pantas jadi kakakmu, ya kan?, jadi ... yaa ... aku juga lebih suka jadi kakakmu, itu saja sebenarnya ... he ... he, minum esnya keburu dingin.. ha ... ha ...” kataku sengaja kusambung guyon lagi agar tidak terasa kaku.

Lihat selengkapnya