Sesampai dirumah, aku terus saja berpikir, begitu yakinnya mereka … apa mungkin aku hamil? Pikirku, ah ... tapi aku tau betul sistem reproduksi manusia, kami hanya berpelukan dan bercumbu tidak pernah membuka-buka alat reproduksi, mana mungkin bisa hamil, aku masih saja berpikir hingga tertidur, terbangun saat Sineng, masuk, iya aku lupa mengunci pintu, ia langsung kebelakang mengambil sesuatu, kulihat sudah jam 2 lewat, akupun bangun dan segera mandi.
Selesai mandi, kudapati ia tengah asyikk makan petisan, ”seger amat tu neng?” kataku sepontan, “iya, sengaja aku beli untukmu, ayo makan” katanya, “trimakasihh ...” kataku, “tapi aku mau beli nasi dulu, belum makan, lagian abis gosok gigi kan ga enak kalau langsung metis” kataku sambil mengambil dompet dilemari, ”ini sudah aku belikan, tinggal makan” katanya sambil menyodorkan bungkusan plastik hitam, ” oh, ya sudah berapa?” tanyaku bermaksud mengganti uangnya, ” ga usah, buat calon keponakanku tersayang ...” katanya, aku terdiam untuk beberapa saat, “Neng, aku tidak hamil, kami tidak pernah berhubungan sejauh itu” kataku kemudian, “yakinnn ...?” katanya sambil tersenyum aneh, “terserah mau percaya atau tidak, tapi aku memang tidak sedang hamil, sudah kubilang kami tidak pernah sejauh itu, jadi tidak mungkin aku hamil” kataku agak kesal, “ya sudah, makan dulu” katanya mengakhiri berdebatan.
Rasta menghabiskan sore ini dikontrakanku, seharusnya aku senang, tapi sikapnya yang kekeuh berpikir aku hamil membuatku risih, “sudah sore, kamu ga mau pulang?” kataku mengingatkan, ”enggak, Mas Sabar bilang aku harus pastikan kamu bicarakan ini dengan pacarmu, kalau kamu ga berani bilang nanti aku yang ngomong, harus cepat dibereskan sebelum perutmu membesar” katanya dengan begitu yakin.
”Rastaa!!, kamu itu teman atau apa?, aku sudah bilang aku tidak hamil, kami tidak pernah melakukan hal bodoh semacam itu, bagaimana biar kamu percaya, lagi pula itu urusanku untuk apa kamu ikut campur? Pulang sana urus urusanmu sendiri!” aku bicara dengan penuh emosi, tidak tahu akan benar atau salah, ku pikir akan sangat memalukan jika sampai dia bicarakan itu didepan kak Alief, Sineng pulang tanpa berucap apapun lagi, entah apa yang ada dalam pikirannya, kenapa dia tidak percaya padaku, dia itu sahabatku kan?, lalu siapa yang akan percaya padaku.
Kak Alief pulang, mendapatiku masih tidur meski sebenarnya aku tidak tidur, aku hanya sedang enggan untuk menemuinya, dia tidak bersalah tapi aku sedang kesal, dan itu gara-gara aku pacaran dengannya, setelah mandi ia menghampiriku lagi, “Nan, bangun dah sore ni” katanya dengan lembut, aku tidak bisa menahan air mataku, “ada apa?” katanya terlihat khawatir, ”aku mau pulang, aku mau keluar ga mau kerja lagi, semua orang nyebelin, Rasta juga nyebelin, Mas Sabar juga nyebelin” ucapku berderai air mata, ia ingin meraih pundakku tapi kutepiskan tangannya, ”jangan menyentuhku!” ucapku dengan kasar, dia terlihat kaget.
“Baiklah, aku juga nyebelin?, ya sudah ceritakan ada apa?, semalam kamu masih baik-baik saja saat berangkat kerja, ada apa?” ucapnya seperti berusaha untuk tidak ikut emosi, aku hanya bisa terus menangis, ia mengambilkanku segelas air putih dari teko yang memang sudah ada disitu sedari tadi, aku menolak karena memang sedang tidak ingin minum, ”minum dulu, bukan karena kamu haus, tapi biar kamu lebih tenang” ia memaksa, akupun terpaksa meminumnya, tangisku mereda, beberapa saat kami terdiam, mulai merasa tidak enak dengan sikapku, aku menyadari betapa kasar yang kulakukan tadi, kuraih tangannya yang tadi kutepiskan dengan kasar, kucium sambil bilang ”maaf kak, maafkan aku ...” dan air mataku mengalir lagi.
“ada apa? Aku ada salah?” ia mengulang pertanyaannya, ”enggak!” jawabku cepat karena ini memang bukan salahnya, ku hapus air mataku dan berusaha untuk tersenyum, “nggak apa-apa kak Alief, cuma lagi cengeng aja!” kataku kemudian, terlihat kesal diwajahnya, aku hanya menunduk menyesali kebodohan dan kecengenganku, “hampir maghrib, aku pulang dulu” katanya sembari beranjak keluar, dia kesal, atau mungkin malah marah padaku.
Dan tinggalah aku seorang diri, Sineng marah, kak Alief marah,aku tidak tahu lagi akan bagaimana, yaa Tuhan, aku benar-benar sendirian sekarang. Setelah Isya’ aku keluar, bermaksud pergi kekontrakan mbak Warsiti, aku berpikir dia satu-satunya yang bisa kuajak berbicara, dia kan punya anak dua, tahulah harusnya orang sedang hamil atau tidak, Kak Alief sedang duduk diteras dengan gitarnya, dia tidak menyapaku, pun saat aku melangkah pergi, dia sama sekali tidak menanyaiku, sepertinya dia benar-benar marah, ya sudahlah mungkin sudah waktunya hubungan kami berakhir, mungkin tempat ini memang tidak cocok untukku.
Air mataku mengalir sepanjang jalan, terus saja mengalir meski terus kuusap dengan sapu tangan, begitu masuk gang kontrakan Mbak Warsiti, kususut air mata hingga bersih, kupastikan tidak ada yang keluar lagi, kuhela nafas panjang, dan kuketuk pintunya perlahan, sebenarnya takut mengganggu, tapi bagaimana lagi, setelah beberapa kali kuketuk, tetangga sebelahnya bilang Mbak Warsiti sedang keluar, ya sudah kutunggu saja, aku duduk didepan pintunya, setelah beberapa saat duduk baru kusadari terasnya gelap, kulihat ada saklar di samping jendela jadi kunyalakan saja, berarti dia pergi dari tadi siang atau setidaknya saat masih terang, karena lampunya belum dinyalakan pikirku, sambil berharaf dia cepat pulang, sekitar setengah jam menunggu, mereka pun datang, Mbak Warsiti dan suaminya.
“Duduk Nan, dah lama nungguin?”katanya setelah membuka pintu, suaminya pamit mau ikut main karambol di saung bawah pohon, “mbak, apa benar aku terlihat seperti orang hamil?” kataku memulai percakapan, “ha ...ha kenapa Nan?” dia malah tertawa, “Mbak, aku ini tidak hamil, kami tidak pernah berbuat sejauh itu, mana mungkin bisa hamil” kataku berusaha ingin dia percaya, “ya bagus dong kalau memang tidak, trus apa yang kamu risaukan?” ia balik bertanya.