Sambil menunggu makan siang, Mas Aji mengajakku berkeliling rumah. Rumah ini terdiri dari beberapa bangunan, yang menjadi tempat tinggal adalah rumah yang berada di tengah dengan bentuk joglo. Sementara di samping kanan rumah tempat tinggal, ada bangunan lagi yang cukup luas, di bangunan itu berisi aneka alat musik gamelan.
Mas Aji bilang gamelan ini milik Kakek buyutnya atau Kakek dari Ayah mertuaku, dahulu semasa hidup, beliau adalah seorang dalang. Mas Aji juga menerangkan semua nama alat-alat itu, aku hanya iya-iya saja, cuma masuk kuping kanan keluar kuping kiri, karena bagiku nama alat-alat itu susah sekali untuk di ingat.
Sementara di sebelah kiri rumah tempat tinggal ada bangunan lagi, di dalam sana berisi sepeda-sepeda tua koleksi Bapak mertuaku. Kata Mas Aji, ini adalah hobi yang menghasilkan uang, karena Bapak mertuaku selain mengkoleksi sepeda tua, beliau juga berbisnis jual beli sepeda tua.
Aku kaget sekali begitu Mas Aji menunjuk ke salah satu sepeda dan menyebutkan harga sepeda itu. Siapa yang menyangka jika harga sepeda tua itu ada yang lebih mahal dari harga sepeda motor baru. Bagiku itu tidak masuk akal, masak ada sepeda tua yang menurutku jelek seharga 30 juta, siapa yang mau beli coba, mendingan juga beli motor kan, padahal kata Mas Aji masih ada yang lebih mahal dari itu.
Selanjutnya aku dibawa ke belakang rumah, di samping kanan, ada bangunan yang lebih kecil. Kata Mas Aji, dulunya tempat ini adalah tempat untuk produksi telur asin, dulu Nenek Mas Aji membuat dan menjual telur asin.
Di dalam bangunan itu ada gentong-gentong dari tanah liat yang berukuran besar, yang digunakan untuk tempat menyimpan telur asin. Selain itu ada juga aneka perlatan dapur berukuran besar yang lainnya, koleksi dari Nenek dan Nenek buyutnya Mas Aji, kata Mas Aji masyarakat yang mau hajatan biasanya meminjam peralatan dapur di sini.
Di bagian tengah hanya ada aneka pohon buah, sepertinya mertuaku atau nenek Mas Aji hobi menanam buah-buahan, terbukti ada pohon rambutan, pohon nangka, pohon mangga, pohon durian dan pohon jambu serta pohon mengkudu, masih di tambah tanaman-tanaman kecil yang lain yang ada di sekitarnya.
Di samping kiri menjorok agak ke dalam ada kandang sapi, mertuaku memelihara beberapa ekor sapi. Jadi tanah mertuaku sebenarnya berbentuk L dan di samping kandang sapi masih ada kebun lagi, kata Mas Aji di sana juga di tanami aneka buah dan umbi-umbian. Mas Aji mengajakku ke sana sebenernya, tapi kerena sapi kecilnya masih belum terikat aku takut dan tidak mau ke kebun samping kandang sapi itu.
Akhirnya jam makan siang tiba, kami makan bersama-sama. Bima masih di sini, dia memang tidak di perbolehkan pulang sebelum makan, kami makan bersama dengan kedua mertuaku. Menu makan kami adalah sayur lodeh, setahuku sayur ini memang kesukaan Mas Aji, tapi entah kenapa rasanya manis ya, kalau Bi Ijah masak rasanya tak semanis ini.
Apa mungkin memang benar, jika selera lidah orang Jogja suka makanan yang manis-manis, makannya mungkin bumbunya di tambah gula cukup babyak. Sebenarnya aku tak begitu suka dengan rasa sayur ini, tapi demi menghormati mertuaku aku memaksakan diri agar makanan di piringku habis tak tersisa, aku tak mau nanti Mas Aji menceramahiku.
Di depan rumah Mas Aji ada sawah, mungkin ini yang membuat panas tapi sejuk, di sini juga rumahnya masih jarang-jarang tidak sepadat perumahanku yang ada di Jakarta. Kanan dan kiri rumah Mas Aji ternyata masih kosong belum ada rumah hanya kebun kosong tak terurus, namun area rumah Mas Aji di kelilingi oleh tembok pembatas, untunglah kan jadi lebih aman, takutnya nanti ada ular masuk ke rumah, hiiii aku takut sekali pada hewan melata itu.
Aku terasa mengantuk, aku ijin tidur siang pada Mas Aji setelah kami sholat dhuhur bersama di kamar. Mas Aji pamit padaku katanya dia mau ke rumah salah satu temannya, kangen katanya karena sudah lama mereka tidak kumpul. Tentu saja aku menolehkannya, lagian ini juga siang, tak ada yang perlu di takuti. Aku harus tidur sekarang, aku langsung memejamkan mataku, entah kenapa rasanya badanku sangat lelah.
"Dek bangun Dek sudah ashar!" Terdengar suara Mas Aji sambil mengelus pipiku pelan, aku menggeliat dan membuka mata. Benar saja langsung terdengar suara adzan, alhamdulillah tidurku kali ini nyenyak. Tidak ada mimpi buruk seperti tadi ketika aku tidur di mobil.
"Iya Mas aku bangun." Aku lalu duduk memandang wajah suamiku yang tampan, hidungnya mancung itu yang membuatku suka padanya, nanti kalau kami punya anak laki-laki atau perempuan aku mau hidung anakku mancung seperti Mas Aji, seketika aku teringat sesuatu. Aku langsung mengambil ponselku dan memencet aplikasi pengingat haid yang ada di ponselku.
"Mas Aji, Mas Aji, lihat deh aku udah telat satu bulan," ucapku semangat sambil menunjukkan layar ponselku padanya.