Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #1

Turbulensi

Logan International Airport, Boston, April 2024

Hanya secarik kertas, tetapi mengapa rasanya seperti dia baru saja menandatangani surat kematian sendiri?

Ladies and gentlemen, welcome aboard flight SW 111 to Jakarta with a transit in Singapore. We will be taking off shortly. Please fasten your seatbelts.”

Suara tenang pramugari begitu kontras dengan badai yang mengamuk di dada Angie. Dia memandangi kertas itu, tiket penerbangan Boston-Jakarta, lalu meremasnya—seakan ingin meremukkan keputusan yang telah diambil. Di balik kelopak matanya yang terpejam, kenangan pahit pertengkaran hebat dengan kekasihnya sebulan lalu kembali membayangi. Teriakan, air mata, juga kata-kata menyakitkan—semua kompak menghanyutkan pikirannya, seiring getaran pesawat yang menyenandungkan nada perpisahan terburuk.

Cambridge, sebulan lalu

Jarum jam bertumpu di angka satu dini hari, memantulkan detik-detik pertarungan sengit antara sepasang insan yang pernah berikrar kasih. Dinding-dinding ingin mengerang, tidak kuasa lagi membendung amarah yang menembaki setiap penjuru ruangan.

“Berbulan-bulan kukorbankan segalanya demi proyek sialan ini!” Urat-urat leher Aiden menegang, memandang makan malam di meja pun tak selera.

Angie, rambut kusut jatuh ke wajah, berteriak tak kalah nyaring, “Selama itu pula, aku selalu ada untukmu, selalu! Namun di mana kau saat aku membutuhkanmu? Bahkan tak punya waktu menanyakan karyaku, huh?”

“Tiga tahun kita bersama,” Aiden menimpali, tatapan nyalang pada Angie, “dan kau masih saja membanggakan khayalanmu! Pada cerita fiksi absurdmu itu!”

Tiga tahun menganyam jaring dari janji-janji yang tak terpenuhi dan kesumat tidak terlampiaskan, kini menjerat mereka dalam pusaran konflik yang tidak kunjung reda.

“Jadi ini semua salahku, begitu?” Angie bangkit, api di mata menyalakan segenap luka lama yang tidak kunjung sembuh. “Bagaimana dengan proyek utopismu? Listrik nirkabel? Ha, kau pikir kau Tesla?”

“Setidaknya visiku jelas!” Aiden pun bangkit, telunjuk tertuju pada Angie berkali-kali, “Tak seperti dirimu yang hanya suka mencoret khayalan seperti wanita delusional!”

“Delusional?” Angie tertawa getir, tidak percaya kata-kata itu keluar dari mulut pria yang selama ini dia anggap rumah. “Setidaknya aku menghidupi diriku sendiri! Tidak seperti benalu yang menempeli beasiswa!”

Frustrasi Aiden mencapai puncak. Tangan gemetarnya naluriah menyapu meja hingga piring-piring berjatuhan ke lantai dalam amukan yang tak tertahankan.

“Lihat apa yang kau lakukan!” seru Angie ngeri. “Kau sudah gila, Aiden!”

“Ya, aku gila!” akunya, mata melotot hampir meloncat dari soketnya. “Gila karena sudah mencintai wanita yang tidak pernah sudi mendukungku! Kau tahu betapa sulitnya meyakinkan mereka soal proyek Wardenclyffe. Ini bukan soal uang atau popularitas, tapi ini bisa mengubah dunia, Angie! Mereka menolak ideku begitu saja!”

“Aku ...” Kepalan tangan Aiden mengeras, berusaha menenangkan getaran dalam suara. “Aku hanya ingin kau mengerti betapa pentingnya ini bagiku.”

Angie memejamkan mata, air mata bergulir perlahan di pipi. “Mengapa kau tidak bisa melihatku, Aiden? Benar-benar melihatku sebagai diriku?”

Tiga tahun silam, mereka bertemu sebagai mahasiswa ambisius di Harvard, sama-sama bercita-cita mengubah dunia. Cinta mekar di antara tumpukan buku dan malam-malam penuh impian. Kini, keheningan yang menyusul lebih nyelekit dari teriakan-teriakan sebelumnya. Pecahan piring berserakan di lantai, refleksi perfek akan hubungan mereka yang sedang turbulensi.

Tatapan lelah yang sarat kekecewaan saling beradu, sementara Cambridge, kota yang tak pernah tidur, tampak tidak terpengaruh drama yang semakin memanjang di ruangan yang semakin sempit. Udara pun mencengkeram setiap detik yang berlalu.

“Kurasa kita butuh ruang, Aiden.” Akhirnya, kata yang tertahan selama ini dapat tersampaikan.

Kata-kata Anggi membeku sejenak dalam kesenyapan, lantas Aiden mengangguk, “Waktu mungkin satu-satunya yang kita butuhkan saat ini.”

Kata-kata terakhir Aiden membekas sampai ke belahan terdalam hati Angie, membuat air mata jatuh lagi. Tanpa menoleh, Aiden melangkahi pintu, membiarkan Angie di antara porselen dan segala impian yang remuk berkeping-keping.

Angie ambruk di lantai, punggung bersandar pada kabinet dapur. Air mata semakin membasahi pipinya yang lelah ketika terpaku pada pintu yang baru ditutup Aiden. Kisah asmara tiga tahun mereka tayang persis film rusak kini. Pecahan porselen yang mengelilinginya sungguhlah mencerminkan hatinya yang pecah berjuta keping. Layar gawai dirabanya dengan jemari gemetar, mencari nomor satu-satunya orang yang ia percayai.

“Lumielle?” Suara parau Angie memulai. “Bisakah ... kau kemari sekarang?”

❾¾

Aiden melangkah tanpa arah di jalanan Cambridge. Tubuhnya menentang angin malam yang menusuk kulit. Lampu-lampu jalan memantulkan bayangannya yang terhuyung-huyung. Kemarahan dan penyesalan menyatu ketika pikiran Aiden mengulang-ulang setiap kata dari pertengkaran, hingga langkah berat menyeretnya sampai ke laboratorium universitas.

Hanya terang bulan yang menyusup melalui jendela saat memasuki ruangan. Ia menyalakan lampu, mendapati sketsa dan perhitungan proyek Wardenclyffe yang sangat berantakan di meja kerja. Persis pikirannya sekarang. Dia menghela napas panjang, dada semakin terimpit. Setiap tarikan napas semakin menguatkan firasat buruknya akan betapa rapuhnya masa depan yang dia impikan.

Dia meraih botol anggur setengah kosong dari meja, lalu beranjak dan memandang jauh ke luar jendela.

“Apa memang aku yang terlalu terobsesi?” gumamnya, menenggak habis sisa anggur itu dalam sekali teguk. Rasa pahit membakar tenggorokannya, tetapi itu tidak seberapa dibanding kepahitan yang dirasakan hatinya.

❾¾

Lihat selengkapnya