Lima abad ke belakang
Detik berlalu seperti abad, sementara abad berlalu seperti detik.
Ombak hangat menjilati kakinya. Matanya mengerjap, melawan sengatan tajam matahari. Batuk menusuk keluar dari tenggorokannya, memuntahkan sisa samudera asin. Buih-buih di sela-sela jemari kakinya seakan merayakan kemenangan laut atas daratan. Pandangannya berbayang, hingga ombak kecil di kakinya kembali menyadarkannya.
“Surga ... atau neraka?” gumamnya, berusaha bangkit. Setiap sendinya mengerang protes, pasir menggesek kulit luka dan memarnya. Untungnya, tak ada cedera serius.
Lautan terbentang tidak berujung, tetapi tidak terlihat satu pun tanda-tanda puing-puing pesawat atau korban lain. Dia terdampar di tempat asing, sendirian.
Dia meraba-raba saku celana, berharap mendapatkan ponsel yang mungkin memberi sedikit harapan. Namun, yang ia temukan hanya sekeping kerang kecil di sana.
“Oh, bagus sekali!” Angie mendesah, memutar mata malas.
Langkah Angie tertatih-tatih di pantai, jejak-jejak kaki pelan-pelan terhapus ombak yang menjilati pantai. Langit sangat cerah, memantulkan kilau keemasan ke permukaan air yang tenang, tetapi tak mampu membakar rasa dingin yang mulai merayapi dirinya.
Di depannya, hutan purba laksana mulut raksasa yang siap melahap siapa saja yang berani mendekat. Bayangan pohon-pohon yang menjulang dan berlumut bergoyang di balik kabut tipis. Dengan kaki gemetar, dia mengerahkan segala keberanian untuk masuk. Dedaunan kering berderit di bawah kakinya yang bertapak, seperti gelak sumbang menyambut kedatangannya yang tak diundang.
Begitu mencekam, bahaya terasa mengintai dari setiap penjuru. Napasnya mengembun, udara dingin membawa semerbak tanah basah dan dedaunan lapuk. Buah-buahan dan makanan hutan menjadi santapannya untuk bertahan hidup di belantara asing itu.
Langkah demi langkah, siang berganti malam, dan tak terasa sudah lima hari hutan mulai mengenal aroma dan jejaknya.
Hingga suatu pagi, sehelai sayap menyapu hidungnya, membangunkannya dari bersin. Ia mendarat begitu keras di semak belukar, merasakan pohon-pohon di sekeliling menertawakannya yang jatuh tidak terhormat dari dahan pohon gagah tempatnya beristirahat. Di antara perasaan sakit, samar-samar, Angie mendengar suara riuh rendah dari kejauhan, seperti kerumunan orang. Rasa penasaran mendorongnya berdiri, segera mengikuti asal suara itu.
Matanya langsung berbinar ketika deretan rumah kuno dan asap mengepul dari cerobong-cerobongnya terlihat di kejauhan, memberi harapan bahwa kehidupan masih ada. Akan tetapi, semakin dia mendekati pemukiman, semakin kuat perasaan asing menjalari kulit Angie. Peristiwa yang menyambutnya membuat dirinya sangat mempertanyakan kewarasannya. Pakaian para penduduk seperti keluar dari laman sejarah, serta arsitektur bangunan yang seolah-olah dibangun dari zaman yang sudah terlupakan.
“Di belahan dunia mana aku sekarang?” Dia mengucek mata, tidak yakin sedang berhalusinasi atau tidak. Namun, apa yang dilihat tak berubah sama sekali. Dan belum juga keheranannya mereda, teriakan-teriakan memenuhi udara, kerumunan orang dengan obor dan garpu tani mengejar wanita muda yang berlari ketakutan.
“Tangkap penyihir itu!”
“Bakar dia!”
“Jangan biarkan dia lolos!”
“Penyihir?!” Mata Angie berpindah cepat, bergantian pada kerumunan orang dan wanita muda yang diburu itu.
Insting darurat Angie cepat tanggap. Ia bergerak lekas, menarik wanita itu, melesat menyusuri gang-gang sempit. Deru napas dan jejak langkah mereka berpacu, mencoba menghindari massa yang mengejar. Adrenalin bergejolak, membuat pikiran Angie berpacu sama kencangnya. Setiap belokan rasanya seperti taruhan hidup dan mati, memaksa kaki mereka harus terus berlari.
Saat berbelok di tikungan, Angie nyaris terjerembab ke tanah jika saja sepasang tangan kuat tidak menangkapnya. Angie mendongak, bertemu sepasang mata biru laut yang membuat napas tertahan sejenak.
“Aiden?!” seru Angie, harap-harap cemas.
Namun pria tampan berambut cokelat keemasan yang masih memegangi pinggangnya itu menanjakkan sebelah alis, “Maaf, Nona ... kita pernah bertemu sebelumnya?”
Angie membeku. Bukan, ini bukan Aiden-nya. Namun, mengapa dia sangat mirip, nyaris tidak ada bedanya sama sekali?
Raungan massa semakin mendekat, mendorong pria itu untuk menarik mereka masuk ke dalam celah batu yang tersembunyi.
“Cepat! Kita tidak punya waktu lagi!”
Tanpa pikir panjang, Angie dan wanita yang baru saja dia tolong mengikuti. Untung pintu tertutup rapat ketika deru langkah kaki massa melewati gang.
Di dalam ruangan, Angie menatap pria itu lekat-lekat. Cahaya remang menerpa wajah pria itu, menyorot garis rahang tegas serta mata biru laut yang memesona—persis seperti Aiden.
“Tidak mungkin ... ini terlalu mirip,” gumamnya dalam hati.
Angie menggeleng sembari menggigit bibir, mencoba menenangkan debaran jantung yang berpacu, sementara wanita yang baru diselamatkannya tengah meringkuk di sudut ruangan.
“Apa yang sudah kau lakukan sampai-sampai mereka mengejarmu, Elina?” Pria itu menoleh pada wanita yang meringkuk di sudut.
Wanita itu bangkit dengan mata menantang. “Mereka menuduhku penyihir hanya karena aku menyembuhkan orang dengan tanaman herbal. Padahal kau tahu itu ilmu yang diwariskan ibu padaku, William.”
Angie mengernyit. Elina? William? Apa mereka saling kenal?
“Elina!” William mendesah. “Sudah kubilang ribuan kali untuk selalu berhati-hati. Kau tahu, kan, apa yang bisa terjadi? Setelah semua yang kita lalui, kau masih saja—”
“Aku adikmu, William!” Elina memotong tajam.
“Dan aku tidak mau hal buruk menimpamu! Kau satu-satunya yang kumiliki, Elina!” Raungan William bergetar.
Angie hanya bisa terpaku, terhanyut gelombang emosi di antara mereka—terlebih lagi, dia masih belum tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya.
Ruangan remang-remang itu hanya diterangi lilin yang bergoyang lembut. Semerbak mistik menyergap indranya, perpaduan kayu cendana yang membumi serta rempah-rempah eksotis yang menggelitik.
“Dan kau, Nona,” William berbalik pada Angie. “Siapa dirimu? Sepertinya aku belum pernah melihatmu di kota ini sebelumnya.”
Angie menelan ludah, masih terkesima oleh kemiripan William dengan Aiden.
“Namaku Angie. Aku ... tak yakin bagaimana aku bisa sampai di sini.”