Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Dia mengerjap, membiasakan diri dengan cahaya mentari pagi yang merayap masuk. Sesaat, Angie berharap semua yang terjadi hanyalah mimpi buruk—jatuhnya pesawat, portal misterius, dan terdampar di masa lampau. Namun, semerbak rempah-rempah dan kayu tua menegur hidung, menepak pipi baru bangun tidurnya cukup keras.
Angie melengkungkan tubuh, pelan-pelan mengangkat diri dari ranjang. Jemari kakinya mencium langsung lantai kayu. Gaun tidur dari Elina sangat asing di kulitnya, beda jauh dengan piama katun yang biasa membalutnya. Dia mendekati jendela kecil kamar, menggeser tirai tebal yang menutupinya.
Pemandangan kota menyambutnya. Deretan bangunan kuno berjajar apik, asap tipis mengepul dari cerobong-cerobongnya. Di kejauhan, menara-menara menjulang, bendera-bendera di puncak melambai seolah tangan yang menyapa langit.
Ketukan halus di pintu membuat Angie berpaling dari kota yang mulai menyambut hari.
“Angie? Sudah bangun?” Suara Elina menyelinap dari balik pintu.
“Aku sudah bangun,” jawab Angie sembari membuka pintu. Aroma hangat langsung menyapa.
Senyum Elina merekah, masuk kamar dengan nampan berisi roti, keju, serta secangkir minuman yang mengepul. “Selamat pagi. Kubuatkan sarapan untukmu.”
“Terima kasih, Elina. Aku jadi merepotkanmu.” Angie menerima nampannya dan meletakkannya di meja.
“Repot?” Elina terkekeh. “Anggap saja rumah sendiri, Angie.”
Angie mendarat di tepi kasur, sementara Elina menarik kursi kayu, menghadapnya dengan senyuman tulus. “Apa tidurmu nyenyak?”
Angie mengangguk. “Cukup nyenyak. Meski rasanya masih sulit percaya kalau aku benar-benar di sini, di masa lalu.”
Mata hijau Elina berbinar penuh simpati. “Aku paham betapa bingung dan takutnya kau sekarang, Angie. Tapi percayalah, William dan aku akan melakukan apa pun agar kau bisa pulang.”
“Aku berhutang budi padamu dan William, Elina.”
“Kurasa kita lunas karena kau menolongku kemarin.” Elina tersenyum, memiringkan kepala sedikit.
Angie mengangguk. “Omong-omong, mana William?”
“Oh, dia sudah pergi sejak subuh tadi. Ada pertemuan penting dengan para cendekiawan kota. Tapi dia berpesan untuk mengajarimu beberapa prinsip dasar kehidupan di sini.”
Angie terangkat dari ranjang, beranjak menyambar roti hangat dari nampan. Rasa dan teksturnya berbeda dari roti yang lidahnya kenali, tetapi tidak mengecewakan juga.
“Jadi,” Angie mengelap tangan dengan serbet setelah rotinya habis, “hal-hal apa saja yang penting kupelajari di abad ke-16 ini?”
“Cukup banyak. Tapi yang paling penting, kau harus hati-hati dengan penampilan dan tingkah lakumu di depan umum. Karena di sini, orang-orang tak selalu buka tangan pada hal-hal yang berlainan.”
Angie mengangguk, menyimak perkataan Elina.
“Seperti yang William katakan semalam, kota ini tidak terlalu bersahabat pada hal-hal yang dianggap asing atau di luar kebiasaan. Terutama bagi kaum perempuan. Kita harus jaga sikap, berbicara lembut, dan paling penting, tak menunjukkan tanda-tanda keanehan.”
Angie mengangkat alis, “Keanehan?”
“Ya, seperti pengetahuan yang terlalu maju maupun kemampuan yang dianggap tidak wajar untuk perempuan. Hal-hal yang bisa membuatmu dicurigai ... penyihir.”