Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Angie mengamati cermin, begitu asing dengan sosok yang terpantul di sana. Gaun cokelat tua terasa berat dan kaku, melilitnya dari realitas modern yang telah ia tinggalkan.
“Sempurna! Sekarang kau benar-benar terlihat seperti warga Kota Sembilan Tiga Perempat,” ujar Elina dengan senyum puas, setelah membantu Angie mengenakan gaun itu dan menata rambutnya dalam kepangan sederhana.
“Bagaimana rasanya?” Elina mengangkat alis.
“Jujur? Aneh!” Angie terkekeh. “Tapi kurasa aku akan terbiasa.”
“Pasti akan terbiasa lebih cepat dari yang kau duga.” Bayangan Elina di cermin tersenyum meyakinkan. “Hari ini, kita mulai pelajaran pertamamu tentang kehidupan di abad ke-16.”
Mereka keluar dari kamar, menyusuri lorong-lorong rahasia. Sinar obor merayap di dinding-dinding berlumut, memantulkan bayangan yang ukurannya melebihi tubuh asli mereka. Hingga mereka diberi lorong bercabang tiga, pilihan yang harus diambil. Tentu saja lorong tengah jadi pilihan yang benar.
Mata Angie membulat penuh saat mereka tiba di ruang utama sanctum. Rak-rak memenuhi ruangan, meja-meja penuh peralatan aneh, dan berbagai artefak yang membuat Angie menganga. Constantine—nama keluarga Elina dan William—terukir megah di salah satu dinding.
“Selamat datang di kediaman Constantine, atau biasa disebut sanctum—istilah konyol yang diusulkan William. Mungkin awalnya terdengar lucu, tapi kau akan terbiasa.” Ada senyum geli yang samar di bibir Elina.
“Wow!” Angie tidak bisa menahan diri, matanya terus menjelajahi setiap sudut ruangan. “Rasanya seperti masuk ke museum ilmu pengetahuan yang hidup!”
“William memang suka mengumpulkan benda-benda aneh dan buku-buku langka. Katanya ini semua mampu membantunya dalam penelitian,” ujar Elina.
Angie berjalan perlahan, tidak ingin melewatkan satu pun detail ruangan itu. Matanya terpaku pada bola dunia antik di sudut ruangan. “Ini peta dunia kalian?”
Elina mengangguk. “Ya, sejauh yang kami tahu. Masih banyak belahan dunia yang belum kami eksplorasi atau kami petakan.”
Angie mengamati bola dunia itu lebih dekat. Bentuk benua-benuanya tidak terlalu akurat, dan ada banyak area putih yang ditandai dengan tulisan “Terra Incognita”.
“Ini sangat menarik!” seru Angie. “Di zamanku, kita sudah bisa melihat seluruh permukaan bumi dari satelit di luar angkasa.”
“Serius?” Elina mengernyit. “Itu sulit dibayangkan.”
“Teknologi di zamanku sudah gila-gilaan. Kami bisa mengobrol dengan orang lain di mana pun dalam hitungan detik saja, menyelam ke dasar laut terdalam, bahkan—” Angie berhenti sejenak, mata menyipit misterius. “Kami sudah mengirim manusia ke bulan!”