Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Kota Sembilan Tiga Perempat diselimuti samudra jingga, lukisan yang begitu nyata hingga terasa menyentuh kulit. Dari balik jendela sanctum berbingkai kaca patri, Angie duduk termenung. Matanya yang sewarna madu menatap jauh ke arah kota yang mulai menyala dengan obor di setiap penjuru jalan. Dua minggu sudah dia terperangkap dalam pusaran waktu yang bengkok, diingatkan lagi kalau dirinya hanyalah seorang musafir yang tersesat di pesta sejarah yang bukan miliknya.
“Bagaimana pelajaranmu hari ini?” William memecah lamunan Angie. Pria jangkung itu baru saja kembali dari pertemuannya dengan para cendekiawan kota. Wajahnya lelah, tetapi itu sirna begitu melihat senyum indah Angie.
“Cukup baik. Elina mengajariku banyak soal etiket dan adat istiadat kota ini. Tapi, ya, semua itu masih cukup sulit kupahami.”
Tubuh William mendarat di samping Angie, bersandar pada kursi kayu yang berukiran halus. “Aku tahu ini tidak mudah. Tapi kau sudah melangkah sejauh ini, Angie. Kau sudah melakukan yang terbaik.”
Ada sesuatu dalam cara William memandangnya, yang membuat jantung Angie berdebar secepat mustang liar. Kemiripannya dengan Aiden sungguh mencengangkan, tetapi ada kelembutan dan kebijaksanaan yang berbeda pada William. Angie buru-buru mengalihkan tatapan, rasa bersalah menjalari hati ketika bayangan Aiden melintas di kepala.
“Will ...” Angie memulai dengan suara nyaris berbisik, “apa kau sudah menemukan cara untuk mengembalikanku ke zamanku?”
“Aku masih terus mencoba, Angie. Tapi harus kuakui, ini jauh lebih rumit dari yang kubayangkan. Perjalanan waktu—ini di luar batas pengetahuan yang kumiliki saat ini.”
Angie mengangguk pelan, ada kekecewaan terpancar di wajah itu.
“Tapi aku tak akan menyerah,” William menambahkan cepat, tangannya tanpa sadar meraih tangan Angie. “Aku berjanji akan terus mencari cara, bagaimanapun sulitnya. Bertahanlah sebentar lagi, ya?”
Sentuhan William membuat Angie tersentak, tetapi ia tak beranjak. Ada kehangatan familier, sekaligus anomali dalam genggaman itu. Untuk sesaat, mereka hanya saling tatap, dalam diam, penuh tanya dan kerinduan yang tidak terucap.
Langkah kaki terdengar mendekat, pelan tetapi pasti, memecah mantra yang terjalin di antara mereka. William buru-buru menarik tangannya, berdeham canggung.
“Oh, maaf. Apa aku mengganggu?” Elina menyelipkan senyum, bergantian menatap William dan Angie dengan tatapan penuh arti.
“Sama sekali tidak,” William menukas cepat, bangkit dari kursi. “Aku ... aku harus memeriksa beberapa catatan penelitianku. Selamat malam, Angie. Elina.”
Setelah William pergi, Elina mendekati Angie dengan senyum jahil. “Jadi ... kau dan kakakku?”
Pipi Angie langsung memanas. “Bukan begitu, Elina. William hanya ... dia hanya mencoba membantuku.”