Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Kota yang biasa terbungkus kelabu, kini meledak dalam warna-warni sukacita. Bendera-bendera bermotif bunga dan kupu-kupu membingkai jalanan. Bau roti dan daging panggang menggelitik hidung, berbaur tawa serta musik yang juga menyemarakkan suasana. Festival tahunan tiba, memberi keceriaan langka di tengah kota yang sudah lama merindukan cahaya.
Angie tertegun di depan cermin, tidak percaya Elina berhasil menyulapnya menjadi sosok anggun. Gaun hijau zamrud membalut tubuh, membuatnya terlihat bagai putri dongeng. Rambutnya, yang biasa liar, kini terjerat dalam kepangan rapi yang berhiaskan pita-pita kecil, sementara wajahnya berkilauan lembut dengan sentuhan bedak dan pemerah bibir. Memang memukau, tetapi dia merindukan kenyamanan jeans dan kaos oblongnya.
Elina mundur tiga langkah, menatap Angie dari ujung rambut hingga kaki.
“Sempurna!” Senyum puas membentang di bibir Elina, dengan lembut merapikan lipatan terakhir gaun Angie.
“Kau benar-benar ibu peri baikku, Elina,” ucap Angie. “Tapi, yakin ini benar-benar aman? Aku takut ada yang curiga padaku.”
Elina meremas lembut tangan Angie. “Tenang saja, kau sudah siap. Ingat, kota ini punya ritme sendiri. Bicaralah dengan lembut, hindari tatapan langsung dari pria asing, dan selalu bersikap sopan.”
Angie mengangguk pasti, menarik napas dalam-dalam, seolah mengisi dada dengan keberanian. “Baik. Ayo kita lakukan ini.”
Rak buku bergeser, memberi jalan untuk keluar. Angie mengerjap, silau oleh matahari yang benderang. Ini kali pertama ia benar-benar menyaksikan Kota Sembilan Tiga Perempat dengan cahaya matahari sepenuhnya menyapa.
❾¾
Alun-alun utama jadi pesta warna dan suara. Perhiasan berkilau bersaing dengan tumpukan rempah eksotis yang menggoda. Anak-anak menunggang kuda-kudaan kayu, gelak mereka menyatu dengan alunan merdu musik motet.
Mata Angie seperti radar, memindai setiap sudut, juga waspada pada segala kemungkinan. Di sana, di panggung kecil, pria berpakaian hitam sedang berpidato lantang.
“Waspadalah, Saudaraku Semua! Musuh bersembunyi di antara kita!” Seruan pria itu menggetarkan udara. “Para penyihir dan antek iblis yang berniat menghancurkan kota kita yang suci ini!”
Semua indra Angie menegang begitu menyerap energi tidak menyenangkan itu.
“Tenang saja,” Elina menepuk lembut pundak Angie. “Hanya Pendeta Markus. Selalu begitu dia.”
“Tapi, bagaimana kalau ada yang benar-benar dituduh penyihir sekarang?” Angie menoleh ke arah panggung itu lagi.
“Itu yang terburuk. Tuduhan penyihir datang kapan saja, kepada siapa saja. Maka itu, kita harus selalu berhati-hati.”
Kata “berhati-hati” sudah jadi mantra yang senantiasa terngiang di kepala Angie, hingga ia hampir tak sadar lagi saat meneguknya.
Pidato Pendeta Markus meluntur di antara hiruk pikuk festival. Seolah terhipnotis, mereka ikut larut dalam arus kegembiraan, melupakan bayang-bayang ketakutan yang mengintai.
“Lihat!” Elina menunjuk panggung kecil di pojok alun-alun. “Pertunjukan boneka!”
Terdorong oleh arus manusia, Angie ikut hanyut dalam lautan wajah yang tertegun. Sorot matanya menyala saat panggung memberi pertarungan klasik—kesatria gagah melawan naga jahat. Ah, dongeng masa kecil. Dulu, dia selalu berandai sebagai sang putri menunggu penyelamat. Namun, di tengah gemuruh tepuk tangan, bisikan-bisikan mengusik menusuk telinganya.