Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
William, Angie, dan Elina akhirnya tiba di sanctum.
“Sebaiknya kita lebih berhati-hati ke depannya,” kata William saat merapatkan pintu rahasia di balik rak buku. “Kecurigaan warga semakin tajam akhir-akhir ini.”
Elina mengangguk. “Sebaiknya Angie tak keluar untuk sementara.”
Angie menunduk, beban kesalahan seolah menindih kepala. “Maaf, aku membuat kalian cemas.”
William mendekat dan mengangkat pelan dagu Angie, membuat mata mereka berpapasan. “Ini bukan salahmu.” Tatapan William dalam, lebih dari sekadar menenangkan. “Tak perlu minta maaf.”
Elina, yang tahu ini akan mengarah ke mana, pura-pura menguap kecil. “Kurasa aku akan tidur sekarang. Selamat malam, kalian berdua.”
Seolah adegan yang sengaja melambat, dia menghilang di balik tirai, meninggalkan ruang utama sunyi. Sejenak, hanya suara detik-detik waktu yang berlalu dan gemetar kecil dari cahaya lilin yang menemani. William dan Angie berhadapan, tetapi kata-kata bagaikan tertinggal di udara, belum menemukan jalan keluar.
“Angie,” suara William akhirnya mengalun, mengikuti lekuk wajah lelah Angie. Tangannya bergerak tanpa sadar, seolah hendak menyingkirkan kelelahan dari wajah cantik itu. Namun, tangannya terhenti, takut sentuhannya akan membuat wanita itu semakin terjaga.
“Istirahatlah,” katanya. Ada banyak hal yang ingin dia ungkapkan, tetapi hanya kata itu yang lolos dari bibirnya.
Angie mengangguk, tetapi kepala saja yang bergerak. Tubuhnya terasa seperti akar yang tertancap dalam tanah, akar yang semakin dalam dan sulit dicabut. Setiap serat sarafnya pun seolah berdebat. “Pergi,” perintah yang satu. “Tinggallah, bersama William,” bujuk yang lain lembut.
William pun tak beranjak, meski harusnya sudah, tetapi kakinya memilih merapatkan diri pada Angie.
“Terima kasih, Angie.”
“Terima kasih ... untuk?”
“Karena sudah mempercayakan dirimu padaku. Untuk membiarkanku melindungimu.”
Kata-kata itu jatuh lembut di hati Angie, menyelimuti kekhawatiran yang tadi membebaninya. Dia mengangkat wajah, menatap William—yang mirip Aiden—tetapi aura bijaksana William membuatnya seperti berteduh di bawah pohon besar.
Angie tersenyum tipis, meski hati bergemuruh. “Dan itu sangat berarti, lebih dari yang kau tahu.”