Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #8

Taman Iridescence

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555

Fajar menjilat sisa-sisa malam, tetapi kabut masih enggan surut, menyelimuti kota dalam dekapannya yang dingin. Angie membuka mata, perasaannya seperti tersangkut di antara realitas dan mimpi. Panasnya kenangan semalam masih berdenyut di ujung jemarinya, bagaikan luka bakar yang baru sembuh. Detik-detik ketika jarak dirinya dan William beberapa inci lagi, ketika napas mereka hampir menyatu, membuat merinding hingga tulang, seolah udara di sekitar tiba-tiba terlalu tipis.

Angie menjerit dalam hati seiring dentangan lonceng gereja berseru merdu dari kejauhan. Dia mengubur diri ke dalam selimut, berharap menghilang ke dalam lipatannya, kembali ke waktu sebelum semua itu terjadi. Apa pun yang semalam terjadi ... dia ingin sekali menghapusnya, meski harus menukar kepala jika perlu.

“Angie? Sudah bangun?” Suara Elina menyapa lembut dari balik pintu.

“Ya, aku sudah bangun.” Angie buru-buru bangkit dari ranjang dan membuka pintu kamar.

Elina tampil dengan senyuman hangat seperti biasa. “Ayo, kita sarapan di ruang makan.”

Angie mengangguk, mengikuti Elina ke ruang makan. Di sana, William tenggelam dalam dunia lain. Matanya berkelana di antara baris-baris buku kuno dengan tekun. Ketika pandangan mereka bertemu, seketika udara terasa seperti mengeras, lalu meledak jadi jutaan serpihan kecil. William tidak menunjukkan apa-apa selain ketenangan di wajahnya, tetapi di balik itu, jantungnya berdebar tidak terkendali. Angie duduk di hadapannya, meja kayu yang memisahkan mereka entah bagaimana semakin melebar setiap detiknya.

Hanya gesekan sendok dengan piring yang memenuhi suasana sarapan. Elina menyadari kecanggungan di ruang itu, berusaha mengembuskan semangat. “Jadi, ada yang mau cerita tentang rencananya hari ini?”

William berdeham pelan. “Aku menghadiri pertemuan dengan para cendekiawan. Ada beberapa hal penting yang perlu dibicarakan.”

Elina mengangguk. “Bagaimana denganmu, Angie?”

Angie mengangkat bahu, matanya masih tertuju pada piring. “Belum tahu. Mungkin baca beberapa buku lagi soal sejarah kota ini.”

“Ah, ide bagus,” balas Elina. “Tapi, bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar? Aku tahu tempat tenang. Jauh lebih aman dari festival kemarin.”

Angie menggigit bibir, jelas-jelas masih trauma dengan kejadian kemarin. Meski begitu, dia tidak ingin terus terkungkung di sanctum. Bahkan burung di dalam sangkar pun butuh angin sekali-sekali.

“Baiklah.” Angie akhirnya mengangguk.

William mendongak dari buku dengan tatapan cemas yang tak tersamarkan. “Kalian yakin? Setelah kemarin ...”

“Tenang saja, Will,” Elina meyakinkan cepat. “Kami akan sangat berhati-hati. Lagi pula, aku akan bawa Angie ke taman teraman. Kau tahu maksudku.”

William menghela napas. Mata cemasnya memandang wajah polos Angie yang sedang menyantap sarapannya. “Baiklah. Tapi, mohon kembali secepatnya jika ada tanda-tanda bahaya sekecil apa pun.”

Elina mengangguk. “Angie pasti aman kali ini. Kau bisa rileks.”

❾¾

Kenyangnya perut sangat tak sebanding dengan kelaparan hatinya—di mana kegelisahan berputar-putar tanpa pause. Ujung jarinya meraba kancing kemeja, dingin dan keras, tidak sehangat bibir Angie yang semalam hampir menjadi miliknya. Matanya terpejam, bibir mengerucut, mengejar bayangan kenikmatan yang menguap dengan kabut pagi.

William menggeleng pelan, pahit rasanya kenyataan bahwa dia dan Angie tak lebih dari dua garis sejajar yang tidak akan pernah bertemu. Dengan hati berat, dia bangkit dan keluar kamar, mencari Angie—satu-satunya alasan kegundahan di relung jiwanya.

Di ruang tengah, ia menemukan Angie, terbenam dalam dunia buku.

“Angie,” suaranya berat, “kita harus bicara.”

Angie menoleh, matanya teduh tetapi penuh keraguan. William menariknya ke pojok ruangan, memastikan Elina tidak ada di dekat mereka.

“Mengenai semalam ...”

“Tidak sekarang, William,” potong Angie dengan suara goyah.

William sekilas bingung, tetapi akhirnya mengangguk pelan. “Tapi kita harus bicara nanti. Banyak hal yang perlu kita bicarakan.”

“Aku tahu,” jawab Angie lirih. “Kita bicarakan nanti.”

Lihat selengkapnya