Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Kertas undangan itu terasa dingin, seolah terbuat dari es yang membekukan ujung jemarinya. Tinta merah gelap, hampir seperti darah, membentuk lambang Kertakala—sebuah simbol dengan aroma tidak kasat mata dari darah bangsawan yang melampaui zaman. Keluarga Kertakala, bayangan yang menjulang di atas kota, memanggilnya, dengan keangkuhan yang tak mungkin diabaikan.
“Ide gila, menurutku!” Angie mendengkus ketika Elina menata rambutnya.
Elina tersenyum melalui pantulan cermin. “Sejujurnya, aku juga bimbang. Tapi menolak undangan Kertakala bisa menimbulkan kecurigaan. Kalian harus hadir, setidaknya untuk menjaga keberadaan kita. Lagi pula, William akan bersamamu sepanjang acara.”
Seulas getaran merayap di hati Angie setiap mendengar nama itu. Sudah dua minggu sejak insiden ‘beberapa inci lagi’ itu, dan sejak itu, William terasa semakin menjauh, lebih sering tenggelam di balik tumpukan buku dan ruang kerjanya.
“Omong-omong soal William,” lanjut Elina sembari menyematkan bunga-bunga kecil di antara kepang rambut Angie, “dia sudah menunggu di bawah.”
Tali yang mengikat hatinya selama ini perlahan-lahan mengendur, membiarkan Angie menghirup napas panjang yang penuh keengganan. Gaun biru lembutnya menyapu lantai, hampir berpendar di bawah lilin, memancarkan aura magis yang tak terelakkan.
Sekarang, Angie sudah tidak lagi di kamar kecil yang tersembunyi di balik rak buku. William memberi Angie kamar di ruang utama—seperti yang dijanjikannya—yang membuatnya tak perlu repot-repot melalui lorong-lorong rahasia lagi.
Kakinya melangkah ragu di anak tangga yang berderit. Pandangannya tertuju pada pria menawan dalam setelan hitam formal di ujung tangga. Napasnya tercekat. Topeng emas menutupi sebagian wajah pria itu, tetapi tidak kilau menggairahkannya yang masih terpancar kental. Sejenak, sosok itu membuatnya hampir tersandung. Aiden? Bukan. Dia harus segera mengenyahkan bayang-bayang itu.
Kilauan lilin memantul indah di topeng emas William, menerangi mata biru laut yang berbinar intens.
“Angie,” suara William hampir berbisik, seolah kata-kata itu hanya untuk Angie seorang. “Kau … kau sungguh memukau.”
“Kau juga, William.” Napas Angie serasa tersangkut di tenggorokan, dan pipinya memanas dalam debar yang tak tertahankan saat mengatakan itu.
❾¾
Kereta kuda meluncur pelan di jalan berbatu. Gemuruh rodanya beradu dengan jantung Angie yang berdebar tak karuan setiap kali dia merasakan tatapan William selama perjalanan yang diterangi obor. Namun, setiap kali Angie menoleh, William buru-buru memalingkan wajah.
Kereta berhenti dengan ratapan besi tua, tepat di depan pintu ganda masuk utama. Dari balik jendela-jendela kaca berwarna, terpancar cahaya hangat yang mengundang dari dalam manor akbar Kertakala dengan gaya renaisans yang kental. Harum bunga menyeruak, menyambut kedatangan setiap tamu.
Nada-nada sonata mengalir merdu, mengiringi langkah Angie dan William saat memasuki ballroom utama. Para tamu bertopeng warna-warni menyemarakkan ruangan dengan dansa dan percakapan yang bersemangat.
“William!”
Panggilan merdu itu menyapu ballroom. Harum bunga langka yang samar tercium, mengiringi langkah anggun Morgana yang mendekat. Gaun merah menyalanya, yang melambai anggun bagai sungai lava itu, berkilauan seiring langkahnya, sementara topeng hitam berhias bulu merak menambah pesona misteriusnya yang membara. Bahkan di balik topeng, kecantikan Morgana begitu menyengat, menguasai perhatian sekitarnya.
“Morgana,” William membungkuk sedikit, menunduk sopan, “terima kasih atas undangannya.”
Morgana tersenyum tipis, melirik Angie dengan penuh minat. “Ah, jadi ini nona misterius yang kudengar tinggal bersamamu. Senang akhirnya kita bertemu.”
Angie membungkuk sambil tersenyum, “Terima kasih sudah mengundang, Nona Kertakala.”
“Panggil saja Morgana.” Ada kehangatan tipis dalam nada suara Morgana. “Nikmati pestanya, dan William … mungkin nanti kau bisa mengajakku berdansa?”
Belum sempat mulut William terbuka, Morgana sudah berputar anggun, menghilang ke dalam kerumunan. Angie mengikuti punggung ramping yang menjauh itu dengan kuku-kuku yang tak sengaja menancap di telapak tangan, meninggalkan bekas merah samar.
“Mau minum sesuatu?” William menawarkan dengan suara yang sedikit parau.
“Ya, boleh.”
William mengangguk singkat, lalu beranjak menuju meja minuman. Angie hanya bisa meremas lembut gaun birunya, merasa asing di tengah pesta yang gegap gempita ini.
“Tak sepatutnya nona cantik sepertimu berdiri sendiri di pesta.” Suara bariton yang tak dikenalnya berdesir dari belakang, menggelitik nadi dan memaksanya berbalik. Di sana, berdiri pria dengan topeng perak berkilau. Sepasang mata birunya menembus topeng, tajam dan menyelidik, memandang Angie dengan intensitas yang mendebarkan.
“Kieran Kertakala,” dia membungkuk elegan dengan rambut hitam yang menjuntai, menambah karisma wajah tampan yang terpahat sempurna.