Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Tiga belas dentang lonceng katedral mengumandangkan kepergian malam, mengobrak-abrik kedamaian hatinya. William terpaku di dekat jendela, tatapannya tertuju pada langit malam. Bintang-bintang menggantung bak taburan perak. Di antara bintang-bintang itu, wajah Angie terlukis samar, lebih jelas dari kilau rembulan—indah tetapi tidak terjangkau. Wanita itu mencuri hatinya, tanpa permisi, dan kini senyumnya ditujukan pada pria lain.
Panas yang membakar dadanya tak kunjung padam, api cemburu yang seperti menyulut sesuatu di dasar jiwanya, tetapi dia tahu harus menahan diri. Jarak, pahit memang, tetapi mungkin itu satu-satunya obat penawar.
“William?” Suara lembut Elina memecah lamunannya. “Masih terjaga?”
William memutar kepala, mendapati adiknya berdiri di ambang pintu. “Hanya sedang berpikir, Elina.”
“Angie, kan?” tebak Elina, berjalan perlahan masuk ke dalam ruangan.
Setelah keheningan sesaat, William mengangguk, mata tertuju ke lantai. “Setiap kali aku melihatnya, ada sesuatu di dalam diriku yang ingin meledak. Tapi, aku tahu aku tidak boleh memiliki perasaan ini.”
“Apa maksudmu ‘tidak boleh’?” Elina nyaris berteriak. “Jelas terlihat kalian saling mencintai, mengapa harus ada yang salah?”
William menghela napas. “Kau tahu kenapa. Dia bukan dari dunia ini. Dia hanya singgah sebentar, lalu pergi. Aku tak akan sanggup mencintainya, hanya untuk merasakan pedihnya perpisahan yang sudah pasti.”
“Tapi kau sudah jatuh cinta padanya, Will. Dan dengan menjaga jarak seperti ini, kau hanya menyiksa dirimu, dan juga Angie.”
William menggeleng. “Aku harus menahannya. Lagi pula, Kieran tampak tertarik padanya. Mungkin lebih baik Angie bersama Kieran selama dia di sini.”
“Kau tidak serius, kan?” Mata Elina membulat penuh. “Kau tahu betul Kieran itu seperti apa. Dia berbahaya.”
“Aku tahu,” desah William. “Tapi Kieran bisa menjaga Angie dari kecurigaan warga. Statusnya sebagai Kertakala akan memberinya perlindungan.”
Elina menggeleng sedih. “Kuharap kau tahu apa yang kau lakukan, Will. Aku tidak ingin melihatmu dan Angie terluka.”
❾¾
Angie menatap langit-langit. Pikirannya dipenuhi William dan sikap dinginnya belakangan ini. Sejak pesta topeng di kediaman Kertakala, William semakin menghindarinya. Setiap kali mereka berpapasan, William hanya sebatas mengangguk sebelum buru-buru berlalu. Tidak ada lagi obrolan panjang di perpustakaan, tidak ada lagi senyum hangat yang membuat jantung berdetak tak karuan.
Perlahan, jemarinya mengusap dadanya yang semakin sempit. Apa yang terjadi? Apa dia melakukan kesalahan? Atau William masih menyimpan perasaan pada Morgana?
Ketukan pelan, hampir ragu-ragu, membuatnya buru-buru menyeka air mata yang tak disadarinya jatuh.
“Angie? Masih bangun?” Suara Elina datang pelan dari balik pintu.
“Ya, aku masih di sini,” jawab Angie, bangkit untuk membukakan pintu.