Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Udara menggigit tajam, membawa pertanda musim gugur yang tiba tanpa belas kasihan. Daun-daun keemasan jatuh berputar, menari pelan di angin, lalu berserak di jalanan batu Kota Sembilan Tiga Perempat. Atmosfer kota lebih mencekam dari biasanya, seolah ada ancaman tak terlihat yang menjerit dari setiap sudut.
Setiap tarikan napas berat, laksana dicemari ketakutan yang pekat. Jemarinya bergetar ketika ia merapikan gaun abu-abu berkilau di tubuhnya—gaun yang tampak tenang, berlawanan dengan hatinya yang resah. Hari ini ia harus menghadapi makan siang dengan Kieran Kertakala, sosok yang namanya saja sudah mengundang kecemasan.
“Kau yakin ingin pergi?” tanya Elina untuk kesekian kali, sarat kekhawatiran yang tak dapat disembunyikan.
Angie mengangguk lemah, harapan dan ketidakpastian berperang di dalam dirinya. “Aku tidak punya pilihan lain, Elina. Mungkin juga ini caraku mendapat informasi yang bisa membawaku pulang.”
Elina menatapnya sejenak sebelum menariknya dalam pelukan hangat. “Berhati-hatilah. Kalau kau merasa ada yang tak beres, tinggalkan tempat itu segera.”
Sementara di ruang tengah, William duduk termenung di antara tumpukan buku kuno. Pandangannya kosong ke luar jendela, menyelam jauh ke bayang-bayang di luar jendela. Setiap detail tentang Angie terbayang jelas di benaknya—senyumnya yang hangat, suara tawanya yang lembut, aroma khas yang selalu membuat rindu. Setiap sel tubuhnya mendambakan wanita itu, ingin merengkuhnya dalam pelukan erat. Namun William sadar harus menahan diri. Demi keselamatan Angie, demi wanita itu kembali ke zamannya. Sungguh, kesakitan ini menggerogoti hatinya.
“Will, Angie akan berangkat,” Elina memberitahunya saat dia dan Angie menuruni tangga.
William hanya mengangguk, tak berani menoleh.
“Hati-hati,” bisiknya lirih, lebih kepada dirinya sendiri.
Di luar sanctum, Angie berdiri sejenak. Kakinya terasa berat untuk melangkah. Namun, kereta kuda megah milik Kertakala sudah menunggunya, kokoh dan tak terelakkan, seperti takdir itu sendiri. Dengan satu helaan napas dalam, ia menaiki kereta itu.
❾¾
Kediaman Kertakala menjulang angkuh, bak raksasa yang bertahan di jantung kota. Kieran sudah menunggunya di tangga depan. Senyumnya memikat, tetapi ada sesuatu yang dingin menyelinap di matanya.
“Selamat datang, Angie,” sambut Kieran, mengulurkan tangan, membantunya turun dari kereta. “Aku senang kau menerima undanganku.”
Senyum santun tersungging di bibir merah muda segar Angie. “Aku sungguh bersyukur atas undangannya, Tuan Kertakala.”
“Oh, kumohon, cukup panggil Kieran saja,” balasnya, membimbing Angie memasuki manor megah yang seolah menyimpan seribu kisah.
Mereka duduk di beranda, memandang taman mawar yang mekar semerbak, dan hidangan mewah terhampar di atas meja, menunggu untuk dinikmati.
“Jadi, Nona Angie …” Kieran memulai, usai pelayan menuangkan anggur merah ke dalam gelas mereka. “Apa kesanmu tentang kota kami?”
Angie meneguk anggur perlahan, berusaha menutupi kegugupan. “Kota ini begitu menarik. Sangat berbeda dari tempat asalku.”
“Ah, benar. Desa di Timur, kan? Pasti sangat berbeda dengan kehidupan di sini.”
Angie mengangguk, berusaha meyakinkan. “Memang sangat berbeda.”
“Namun aku dengar kau tinggal bersama William dan adiknya?” Kieran melanjutkan, tatapannya semakin tegas. “Bagaimana bisa wanita desa berakhir tinggal bersama alkemis terkenal?”
Angie nyaris tersedak. Dia harus berhati-hati memilih kata-kata.