Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Angie meneliti setiap lekuk wajahnya di cermin, seolah mencari jejak dari diri yang pernah dikenalnya. Wajah cantiknya kini terasa asing, bagaikan lukisan yang pudar warna. Sudah berapa lama dia terperangkap dalam ruang waktu ini? Berapa banyak bintang yang telah terbakar dan mati sejak dia terlempar ke dalam abad yang kelam ini?
Di balik pantulan wajah cantiknya, bayangan samar William tampak, berdiri di ambang pintu dengan tatapan penuh kerinduan yang tidak terucapkan. Namun, Angie membalikkan wajah, seolah menciptakan jurang pemisah yang tidak mungkin dijembatani, seperti retakan besar di dinding hati.
“Angie,” suara William terdengar lirih, “aku—”
“Aku lelah, William,” potong Angie, tanpa melirik. “Bisakah kita bicara lain waktu?”
Angin dingin meliputi ruang di antara mereka, sebelum akhirnya William mengangguk, meski Angie tak melihat. “Tentu. Selamat beristirahat.”
Pintu tertutup pelan, membiarkan Angie dengan badai pikiran sendirian. Ia merebahkan diri di ranjang, menatap langit-langit yang terasa familier tetapi kini menyimpan terlalu banyak rahasia. Ingatannya melayang ke beberapa jam lalu, saat dia masih berada di kediaman Kertakala.
Manor Kertakala
Kieran mengajaknya berkuda, sesuatu yang belum pernah Angie lakukan sebelumnya. Awalnya begitu ragu, tetapi tawa renyah Kieran membuatnya merasa nyaman.
“Ayolah, Angie,” Kieran menggoda, “tidak ada yang perlu ditakuti. Aku akan menjagamu.”
Angie mengangguk, dan Kieran membantunya naik ke atas kuda. Sensasi berada di punggung hewan yang begitu kuat membuatnya gugup sekaligus bersemangat.
“Pegang kekangnya seperti ini,” Kieran menunjukkan, tangannya yang hangat menyentuh tangan Angie, “lalu, beri isyarat lembut pada kudamu dengan kakimu.”
Perlahan tetapi pasti, Angie akhirnya terbiasa. Mereka melintasi padang rumput luas milik keluarga Kertakala, angin musim gugur memainkan rambut cokelat susunya. Sesaat, Angie melupakan semua kekhawatiran.
“Kau berbakat, Angie,” puji Kieran tulus. “Mungkin lain kali kita bisa mencoba memanah sambil berkuda.”
Angie tertawa ringan. “Jangan bercanda. Aku bahkan masih kesulitan menjaga keseimbangan.”
“Ah, bukankah belajar hal baru itu menyenangkan?” Kieran tersenyum menawan. “Seperti kau belajar tentang kota kami.”
Angie mengangguk, tetapi hatinya sedikit tersayat. Dia teringat akan tujuan sebenarnya dia berada di sini—untuk kembali ke zamannya. Namun entah mengapa, pikiran itu kini terasa sedikit ... menyakitkan?
Lamunannya terputus ketika sosok Morgana muncul di kejauhan, melambai dengan keanggunan yang sangat tak terbantahkan.
“Ah, kakak membawa tamu spesialnya untuk berkuda, rupanya,” sapa Morgana saat Angie dan Kieran mendekat. “Bagaimana rasanya, Angie?”
“Menyenangkan,” kata Angie, berusaha menjaga nada suara tetap sopan. “Kieran guru yang sangat baik.”
Morgana tersenyum, melirik Kieran sekilas. “Oh, tentu saja. Kakakku memang selalu baik pada wanita-wanita cantik.”
Ada nada aneh dalam suara Morgana, yang membuat Angie tidak nyaman. Namun, sebelum Angie merespons, Kieran mengajak beristirahat di paviliun dekat danau.
Di sanalah, saat Kieran sedang mengambil minuman, Morgana membagikan kisah masa lampaunya bersama William. Ceritanya sungguh mendalam, mengungkapkan hubungan yang begitu intim dan penuh makna. Tiap kata yang keluar dari bibir Morgana terasa menusuk hati Angie laksana ribuan pisau tajam.
“William itu ... sangat lembut, kau tahu?” Morgana berkata dengan menerawang. “Tangannya yang kuat tapi penuh kehati-hatian ketika menyentuhku. Bibirnya yang manis dan hangat kala menciumku. Oh, saat kami bercinta ...”
Angie merasa mual, ingin menjerit supaya Morgana berhenti, tetapi lidahnya terasa kelu.
“Tapi kemudian,” Morgana melanjutkan, tatapan mulai berair, “William menjauh. Tanpa alasan. Meninggalkanku begitu saja usai semua yang kami lalui.”
Angie terdiam, menemukan potongan teka-teki yang hilang. Inikah alasan sesungguhnya kenapa William jaga jarak darinya? Karena takut melukainya seperti yang dia lakukan pada Morgana?
Ketika akhirnya kembali ke kediaman utama, William sudah menunggunya, menjemput untuk pulang. Matanya langsung tertuju pada Angie. Namun, Angie berpaling. Hatinya terlalu terluka untuk menatap sosok yang selalu mengisi relung rindunya.
Dan di sinilah dia sekarang, terbaring di ranjang, air mata mengalir diam-diam. Kerinduan membara kepada William menggulung hatinya, tetapi di sudut pikirannya berbisik kebimbangan—bagaimana kalau William hanya mempermainkannya, sama seperti yang dia lakukan pada Morgana?
❾¾
William berdiri di depan pintu kamar Angie. Tangannya terangkat, berniat mengetuk, berniat menjelaskan semua yang tersimpan di hatinya. Namun ia urung.