Cambridge, 2024
Kereta melaju cepat, menembus kekelaman terowongan bawah tanah. Cahaya neon berkedip-kedip, menciptakan ilusi seakan-akan waktu berputar mundur. Aiden duduk termenung, menerawang kosong ke luar jendela. Pantulan wajah lelahnya samar-samar di kaca berembun, bayangan kesedihan yang terukir dalam setiap garis wajahnya.
“Pemberhentian berikutnya, Harvard Square,” suara mekanik mengumumkan.
Aiden tersentak dari lamunan. Berapa lama dia duduk, membiarkan waktu berlalu begitu tanpa kendali? Satu jam? Dua jam? Waktu terasa begitu absurd belakangan ini. Setiap detik seperti siksaan tanpa akhir, tetapi hari-hari berlalu begitu cepat tanpa dia sadari.
Decit keras rem kereta menyambut kedatangannya di stasiun. Pintu terbuka dan arus penumpang membanjiri keluar-masuk seperti darah mengalir di dalam pembuluh. Aiden bangkit. Kakinya serasa mengangkut beban ketika menyentuh peron.
Harvard Square. Dulu, tempat ini jadi saksi bisu dari kenangan manisnya bersama Angie. Kini, setiap sudutnya hanya mengingatkannya akan kehilangan yang menyayat hati.
Langkah Aiden gontai, mengarah ke kampus. Matanya menangkap headline koran yang ada di kios: “MISTERI SW 111 MASIH BELUM TERPECAHKAN: 222 hari Berlalu, Nasib 238 Penumpang Masih Tidak Diketahui”
Matanya terpejam, berusaha menyingkirkan rasa sakit yang menghantam dada. Sudah 222 hari berlalu semenjak Angie menghilang bersama pesawat itu.
Kampus Harvard yang biasa riuh kini terasa sunyi di telinga Aiden. Atau mungkin, dunianya sendiri yang telah kehilangan suara semenjak kepergian Angie. Dia berjalan melewati Widener Library, tempat dia dan Angie sering menghabiskan waktu belajar bersama. Memori-memori indah itu kini terasa seperti pisau yang mengiris hatinya.
“Aiden!”
Aiden mendapati Dr. Nebula, pembimbing proyeknya, berlari tergopoh-gopoh ke arahnya.
“Oh, syukurlah aku menemukanmu,” ujar Dr. Nebula terengah-engah. “Kau tidak menjawab telepon maupun emailku.”
Aiden mengernyit. Ah, iya. Ponselnya mati sejak entah kapan, dan dia bahkan lupa sandi emailnya sendiri.
“Maaf, Prof. Aku ... agak sibuk belakangan ini.”
Dr. Nebula menatap prihatin, mengingat usaha mereka yang gagal dalam menciptakan portal waktu. “Aiden, aku tahu ini sungguh berat. Namun kau harus bangkit. Proyek Wardenclyffe-mu ...”
“Aku tahu,” potong Aiden. “Akan kuselesaikan. Hanya butuh waktu, Prof.”
Dr. Nebula menghela napas panjang. “Baiklah. Tapi ingat, tenggat waktunya tinggal lima bulan lagi. Kalau kau butuh bantuan, jangan sungkan untuk meminta.”
Aiden hanya mengangguk lemah. Dr. Nebula menepuk bahunya sebelum berlalu, meninggalkan Aiden kembali dalam kesunyian pikiran.
Langkah demi langkah mengantarkan Aiden ke dalam laboratorium pribadi. Ruangan itu lebih menyerupai kapal pecah—kertas berserakan, papan tulis penuh rumus tidak beraturan, dan di pojok ruangan, alat aneh setengah jadi terbengkalai.