Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Angie berdiri di tepi jurang, memandangi kegelapan yang menganga di bawah. Angin malam menampar wajahnya, membawa aroma kesedihan serta kerinduan yang tidak terucapkan. Di belakang, api unggun bergoyang-goyang liar, bayangannya memanjang hingga tepi tebing—seakan mengundangnya untuk melompat, menghapus segala luka yang kini menganga.
“Lompatlah,” bisik angin, “dan kau akan terbebas.”
Bebas? Ini bukan tentang melompat. Kebebasan yang sesungguhnya itu tentang bertahan, meski setiap tarikan napasnya terasa seperti ribuan jarum menyengat.
Dia berbalik, memandangi api yang bergelora. Api itu William—begitu memikat, begitu menggoda, tetapi akan membakarnya habis kalau terlalu dekat. Dan Angie? Dia hanyalah kunang-kunang yang tergila-gila pada cahaya, walau itu bisa membakarnya hingga jadi abu.
“Bodoh,” rutuknya pada diri sendiri. “Kau bahkan tak seharusnya di zaman ini.”
Namun hati tidak mengenal dimensi waktu, bukan?
Langit malam berbisik-bisik, bintang-bintang berkedip nakal seolah menertawakan kenaifannya. Angie merogoh saku, mengeluarkan saputangan William. Wangi pria itu masih terjebak di sana, mengoyak luka yang tak sempat mengering.
“William,” bisiknya pada angin malam, “mengapa kau harus jadi candu yang sulit dilepaskan?”
Namun, angin tidak memberikan jawaban. Hanya deru ombak di kejauhan yang seolah mengejek kebodohannya, yang telah membiarkan hatinya tertambat pada seseorang yang seharusnya tak pernah ada di jalannya.
Angie memejamkan mata, membiarkan air mata jatuh. Setiap tetesnya adalah doa—doa agar waktu berbaik hati padanya, membawanya kembali ke masa di mana dia tak perlu merasakan cinta yang semenyakitkan ini.
Namun, waktu jarang berbaik hati pada siapa pun.
❾¾
Wajah pucat Angie tersapu fajar yang menyebar lembut di ufuk Timur. Elina sudah menunggu khawatir di ambang pintu, langsung lega melihat Angie yang baru pulang.
“Ya Tuhan, Angie! Ke mana saja kau semalaman?” Dia segera mendekap tubuh Angie yang ringkih.
Angie menggeleng lemah. “Aku hanya butuh udara.”
Elina memandanginya saksama. “Ini tentang William, kan?”
Angie menegang. Nama itu seperti aliran listrik yang menyengat tulang belakangnya.
“Tidak,” suaranya teredam. “Ini ... aku yang bodoh. Itu saja.”
Elina menghela napas. “Ayo, kubuatkan teh. Kau butuh sesuatu yang hangat.”
Langkah Angie terseret-seret saat masuk sanctum. Teh chamomile yang menenangkan menguar, membuat Angie sedikit rileks.
“Kau tahu,” Elina memulai sembari menuangkan teh, “William juga tidak tidur semalaman.”
Angie mengangkat wajah dengan mata bertanya-tanya.
“Dia mengurung diri di laboratorium,” tambah Elina. “Entah apa yang dia kerjakan, tapi aku bisa mendengar suara-suara aneh dari sana.”
Apakah William masih berusaha mencari cara untuk mengirimnya pulang?
Langkah berat terdengar dari arah pintu. Angie dan Elina menoleh serentak, dan di sana, di ambang pintu, William berdiri. Wajah pucat dan lelah, tetapi matanya tetap bersinar, menyapu wajah Angie dengan daya tarik yang tidak terelakkan. Pandangan William langsung pada Angie, serasa magnetis yang kuat di udara.