Cambridge, 2024
Siluetnya melawan hamparan urban di bawahnya ketika Aiden berdiri di tepi jendela. Segelas wiski bergetar di tangannya, cairan amber menangkap cahaya bak kunang-kunang terperangkap.
Di belakang, Jocelyn terbaring dalam selimut, bergerak dalam tidur, diselingi gumaman samar yang hanya bisa dipahami alam bawah sadar wanita itu. Genggaman Aiden mengerat pada gelas. Segenap rasa bersalah, kental dan menyesakkan, naik ke tenggorokannya seperti empedu. Seberapa lama lagi dia bisa mempertahankan sandiwara ini? Seberapa lama lagi sebelum retakan dalam topengnya menjadi jurang menganga, siap menelan segalanya?
Ia meneguk wiski, menikmati rasa terbakarnya. Hanya itu yang terasa nyata sekarang.
Denting lembut dari laptopnya menarik perhatiannya. Pastilah email lain dari Dr. Nebula. Proyek Wardenclyffe menghantuinya bagai bom waktu, setiap hari yang berlalu membawanya semakin dekat pada detonasi. Lima bulan tersisa. Lima bulan merevolusi transmisi energi nirkabel, atau menyaksikan impiannya hancur laksana istana pasir yang dihempas ombak realitas.
Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Jocelyn, dia beranjak ke meja. Email itu berpendar di layar, isinya kabur antara tenggat waktu dan ekspektasi. Dia mengucek mata, kelelahan meresap ke dalam tulang bagaikan racun lambat.
“Aiden?” Suara Jocelyn, tebal oleh kantuk, menggema di belakangnya. “Kembali ke sini, yuk.”
Dia menoleh, memasang senyum yang terasa sekeras pecahan kaca di bibir. “Sebentar lagi, Sayang. Tidur saja dulu.”
Sayang. Kata itu laksana abu di langit-langit mulutnya. Dia peduli pada Jocelyn. Namun cinta? Itu mati bersama Angie.
Jocelyn duduk, selimut melorot hingga pinggangnya. Dalam remang-remang, sosok cantiknya persis makhluk surgawi. “Email dari Dr. Nebula lagi?”
Aiden mengangguk, tidak sanggup menatap matanya. “Seperti biasa. Tenggat waktu, laporan kemajuan, misi penyelamatan sejarah sains. Hiburan sebelum tidur.”
Tawa Jocelyn lembut, diwarnai penuh rasa pengertian. “Kemarilah,” ajaknya, menepuk ruang di sisinya. “Biar kubantu mengusir setan-setan itu sebentar.”
Aiden bimbang, terjepit antara sirene kenyamanan dan rasa bersalah. Dan pada akhirnya, kelelahan menang. Dia merangkak ke tempat tidur, membiarkan lengan Jocelyn menyelimutinya penuh kasih.
“Kau memikirkannya lagi, bukan?” Kata-kata Jocelyn nyaris bisikan, tetapi bergema dalam kesunyian kamar.
Kebisuan Aiden sudah cukup menjelaskan segalanya.