Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Kalau cinta itu api yang membakar jiwa, maka cemburu adalah asap—mengaburkan pandangan, mencekik napas, dan meracuni udara di sekitarnya. Dan di sore yang kelabu ini, asap itu begitu pekat hingga nyaris bisa disentuh.
William mengawasi di ambang pintu laboratoriumnya, mencengkeram bingkai kayu hingga buku-buku jemari memutih. Tatapannya, yang terkenal teduh, kini berkilat berbahaya, menatap tajam ke ruang tamu, di mana Kieran Kertakala—pangeran congkak sekaligus putra sulungnya Kyllian Kertakala, keluarga dengan posisi Kepala Dewan Sembilan—duduk bersama Angie, tertawa-tawa seolah dunia hanya milik berdua.
“Jadi, Angie,” Kieran mengalun manja, “bagaimana rasanya di kota kami sejauh ini? Kuharap kau tak terlalu terganggu dengan ... ah, tradisi lokal kami yang unik?”
Angie tersenyum diplomatis, mata kecokelatan yang lembut sesekali melirik William. “Oh, sejauh ini sangat menarik, Kieran. Setiap hari bagaikan membuka halaman baru dari buku sejarah yang hidup.”
“Buku sejarah?” Tawa Kieran semerdu lonceng gereja, tetapi sedemikian mengganggu bagai denging lebah. “Ah, Angie, kau terlalu merendah. Kau lebih seperti ... puisi indah yang terwujud di tengah zaman yang terhenti.”
William mendengkus, mendengarkan retorika gombal Kieran yang mendayu-dayu. Namun, melihat rona merah samar di wajah Angie membuat darahnya mendidih. Apa wanita itu benar-benar tersipu? Atau hanya akting?
“Kieran, kau terlalu menyanjungku.” Angie berusaha mengalihkan pembicaraan, “Bagaimana dengan dirimu? Kudengar keluarga Kertakala memiliki pengaruh besar di kota ini.”
“Oh, itu ...” Kieran mengibaskan tangan dengan gaya rendah hati yang sudah terlalu sering dipraktikkan, “hanya sedikit tanggung jawab yang membebani. Tak sebanding dengan keajaiban yang kau hadirkan di kota ini, Angie.”
William sudah tak tahan lagi. Dia menggerakkan kaki setenang mungkin—walau di hati ingin sekali menyepak Kieran dari sanctum.
“Ah, William!” seru Kieran, seakan baru menyadari kehadiran tuan rumah. “Akhirnya kau bergabung dengan kami. Kami baru saja membicarakan betapa menariknya kota kita.”
“Tentu!” William tersenyum, meskipun tatapan tetap dingin. “Kota kita memang penuh ... kejutan. Seperti tamu tak diundang yang tiba-tiba muncul, misalnya.”
Angie terbatuk-batuk, berusaha menyembunyikan geli. Kieran, entah berpura-pura tidak menangkap sindiran atau memang terlalu tebal muka, hanya tersenyum lebar.
“Ah, maafkan kelancanganku,” sahutnya ringan. “Aku hanya tidak bisa menahan diri untuk tidak mengunjungi si cantik Angie ini. Kau sungguh beruntung, William, bisa tinggal seatap dengannya.”
William mengepalkan tangan di balik punggung. “Ya, aku memang beruntung. Dan sibuk. Sangat sibuk dengan berbagai eksperimen penting. Yang mungkin terganggu jika ada ... gangguan dari luar.”
“Oh?” Kieran menanjakkan alis. “Eksperimen apa itu? Mungkin aku bisa bantu? Kau tahu, keluargaku memiliki akses ke berbagai sumber daya langka.”
“Terima kasih, tapi tidak perlu.” William menimpali ketus. “Kecuali kau punya mesin waktu tersembunyi di balik jubahmu yang ... mewah itu.”
Suasana seketika menegang. Angie merasakan bara api yang siap meledak, cepat-cepat berdiri.
“Ah, bagaimana kalau kita minum teh saja?” tawarnya, berusaha mencairkan suasana. “Aku baru belajar resep baru dari Elina. Mungkin kalian berdua bisa membantuku menilai rasanya?”