Cambridge, 2024
Beku.
Itulah yang Aiden rasakan saat membuka mata pagi itu. Bukan karena suhu ruangan yang menusuk, tetapi karena kekosongan yang mengimpit dadanya. Ia berbaring tanpa benang sehelai pun. Selimut menutupi separuh tubuhnya, sementara Jocelyn mendekap posesif pinggangnya.
Napas hangat Jocelyn menyentuh halus tengkuk Aiden, membisikkan gelombang sensasi familier tetapi asing di saat bersamaan. Setiap sentuhan Jocelyn seolah membuka luka lama, turut menawarkan penyembuhan yang selama ini dia rindukan.
Aiden memejamkan mata, mencoba mengingat mimpi semalam. Seperti biasa, Angie hadir di sana. Kali ini, dia berdiri di tepi jurang, gaun putihnya berkibar ditiup angin. Tangannya terulur, memanggil Aiden untuk bergabung. Namun setiap kali dia mendekat, jurang itu semakin lebar, memisahkan mereka dengan jarak yang mustahil dilalui.
“Mimpi buruk lagi?” Suara Jocelyn menyentak Aiden kembali ke dunia nyata. Dia menoleh, menemukan mata hijau yang penuh kekhawatiran. Rasa bersalah membelit tenggorokannya seketika.
“Bukan apa-apa,” dustanya, memaksakan senyuman. “Hanya stres karena proyek.”
Jocelyn mengangguk, membelai pipi Aiden lembut. “Kau tahu kau bisa cerita apa saja padaku, kan?”
Aiden mengangguk, tetapi hatinya ingin menjerit-jerit. Bagaimana dia bisa menjelaskan bahwa tiap kali mereka bercinta, yang dia bayangkan adalah Angie? Bahwa setiap sentuhan Jocelyn malah membuatnya makin merindukan sosok yang hilang itu?
“Aku tahu,” bisiknya parau. “Terima kasih, Jo.”
Jocelyn tersenyum, melenggang anggun dari tempat tidur. “Kubuatkan kopi, ya? Kau pasti butuh ekstra kafein untuk presentasimu hari ini.”
Aiden mengangguk, matanya tak lepas dari punggung telanjang Jocelyn yang menjauh. Dia mengagumi setiap lekuk tubuh wanita cantik itu, keanggunan dalam setiap gerakan. Selain cantik dan cerdas, Jocelyn nyata. Bukan bayangan atau kenangan seperti Angie.
Namun mengapa hatinya masih terasa hampa?
Aiden beranjak ke jendela. Cambridge mulai menguak dari selimut malam. Gedung-gedung pencakar langit menyapa mentari pagi. Di kejauhan, dia bisa lihat menara Harvard, di mana impiannya—serta mimpi buruknya—bermula.
Wardenclyffe.
Nama itu bergaung dalam benaknya, mengingatkannya akan ambisi dan tanggung jawab yang membelenggunya. Proyek yang dia harap bisa mengubah dunia, tetapi malah memisahkannya dari Angie.
Aiden menghela napas panjang. Hari ini adalah hari di mana taruhan masa depannya dipertaruhkan, baik untuk proyek maupun kariernya. Dia harus meyakinkan dewan penguji dan calon investor.