Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #18

Pasar

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555

Sehelai rambut cokelatnya menutupi mata, dan William—yang sudah bangun bahkan sebelum matahari mencium ufuk—harus menahan diri untuk tidak menyibaknya.

“Astaga,” bisiknya, “bahkan saat tidur pun, kau bisa membuatku jatuh cinta berkali-kali.”

Seolah mampu mendengar bisikan hati William, Angie menggeliat pelan. Matanya perlahan terbuka, mengerjap-ngerjap sebelum menemukan pria menawan duduk di tepi ranjangnya.

“Will?” katanya serak. “Kau memperhatikanku tidur?”

William tertawa kecil. Wajahnya memerah tertangkap basah. “Maaf, aku tidak bisa menahan diri. Kau terlihat sangat damai.”

Pipinya merona, refleks merapikan rambut kusutnya. “Dasar penggombal. Aku yakin aku terlihat seperti sarang burung sekarang.”

“Sarang burung tercantik yang pernah kulihat, kalau begitu,” ujar William dengan mata berkilat jenaka.

Tawa renyah Angie memenuhi ruangan. “Will, astaga! Kau ini benar-benar ...”

“Benar-benar?” William mendekatkan wajah, memberi senyum nakal.

“Benar-benar ... membuatku mau melemparmu dengan bantal!”

Bantal dilemparkan Angie ke William, tetapi pria itu menangkapnya dengan refleks mengagumkan.

“Hei! Ini serangan pada alkemis kerajaan!” protesnya, pura-pura marah sambil tersenyum.

“Oh? Lalu apa hukumannya, Tuan Alkemis?” Angie menantang dengan alis terangkat main-main.

William menyeringai, tatapan berkilat dengan rencana licik. “Hukumannya adalah ... serangan gelitik!”

Sebelum Angie protes, William sudah melompat ke ranjang, jari-jari jahil itu menggelitiki pinggang Angie tanpa ampun. Tawa Angie lepas, mengisi ruangan dengan kebahagiaan murni.

“Will! Hentikan! Aku menyerah, aku menyerah!” jerit Angie di sela-sela tawa, tetapi William terlalu terpesona oleh melodi ceria yang telah menjadi candunya. Mereka berguling-guling di ranjang, saling menggelitik seraya tertawa seperti anak kecil.

Tidak diduga, pintu kamar tersibak.

“Will, Angie, kalian sudah—oh!”

Elina terhenti di ambang pintu. Matanya melebar pada pemandangan yang mengocok perut. William dan Angie terengah-engah sembari tertawa, rambut berantakan dan posisi mereka yang ... cukup menempel.

Ups!” William buru-buru melompat. “Pagi, Elina. Ini ... bukan seperti yang kau pikirkan.”

Elina mengangkat alis. “Oh? Lalu seperti apa, Kakak Tersayang?”

Pipi Angie sudah semerah tomat, memperbaiki rambut berantakannya. “Kami hanya ... um ...”

“Bercanda seperti anak kecil?” Elina menyelesaikan kalimatnya, tertawa melihat ekspresi konyol mereka. “Ya ampun, kalian ini! Sudah bukan remaja, tetapi kelakuan masih seperti bocah kasmaran!”

William berdeham, memasang wibawa kembali. “Ada apa, Elina?”

“Aku mau ajak Angie ke pasar. Persediaan dapur sudah menipis.”

Mata Angie langsung berbinar. “Pasar? Boleh!”

William, yang menyadari antusiasme Angie, langsung menyela. “Bagaimana kalau aku yang menemani Angie? Kau, kan, sedang tidak enak badan, El.”

Elina menyipit. “Wah, sejak kapan kau peduli dengan belanja bahan makanan, Will?”

“Sejak ... sekarang?” William menjawab tidak yakin, membuat Angie terkikik geli.

Elina memutar bola mata. “Sudahlah, sudahlah. Kalian pergilah. Tapi ingat, Will. Kalian ke sana untuk belanja, bukan kencan!”

Lihat selengkapnya