Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #20

Rambut Ungu

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555

Sekarang, William punya dua masalah besar.

Masalah pertama: dia cinta mati kepada wanita masa depan bernama Angie.

Masalah kedua: rambut ungu Angie yang kini mencuat liar seperti baru kesetrum petir.

“William Constantine! Kau pria paling menyebalkan di seluruh abad ke-16!”

Teriakan Angie mengguncang laboratorium, membuat deretan tabung reaksi bergetar. William, dengan rambut acak-acakan dan noda hitam di pipi, hanya bisa menyengir lebar.

“Ayolah, Nona Masa Depan. Harusnya kau akui kalau eksperimen ini brilian,” balasnya santai, botol cairan ungu mencolok diangkatnya.

Angie memutar mata dramatis. “Oh? Brilian katamu? Lihat apa yang kau lakukan pada rambutku!”

Dia menunjuk kepalanya yang kini persis surai singa yang baru saja disetrum. Rambut cokelat susu yang biasa teratur dan halus kini berdiri tegak dengan warna ungu mencolok di ujung-ujungnya. Dia sudah seperti karakter animasi yang salah masuk dimensi.

William terbahak-bahak, tak bisa menahan diri melihat penampilan pujaan hatinya yang konyol. “Hei, setidaknya kau terlihat ... unik?”

“Unik katamu?!” Angie menggeram. “Aku lebih mirip hantu punk yang nyasar ke konser rock!”

William makin tertawa geli. “Ayolah, Angie. Kau tahu aku hanya ingin membuat ramuan pewarna rambut yang tahan lama. Siapa sangka efeknya akan seperti ini?”

Angie mendengkus, tetapi sudut bibir indahnya mulai berkedut menahan senyum. “Dan kau pikir aku ini kelinci percobaan sukarela?”

“Setidaknya kau kelinci paling menggemaskan yang pernah kulihat,” goda William, mendekat dan mengecup hidung Angie lembut.

Perangai itu sekejap meluruhkan kekesalan Angie. Dia mendesah pasrah, akhirnya membiarkan tawa kecil lolos dari bibirnya. “Kau ini ... benar-benar ...”

“Tampan? Jenius? Pria paling beruntung di dunia karena memilikimu?” William melanjutkan perkataannya dengan nada menggoda.

Angie memukul dada William main-main. “Gila!”

William tertawa dan menarik Angie ke pelukan erat. “Santai, santai. Akan kutemukan penawarnya.”

Angie menyandarkan kepala di dada bidang William, menghirup semerbak maskulin yang selalu membuatnya nyaman. “Awas saja kalau besok rambutku masih seperti ini. Aku akan membalasmu, Tuan Alkemis.”

William mengangkat alis. “Oh, ya? Dan apa rencana pembalasanmu, Nona Masa Depan?”

Angie menyeringai nakal. “Aku akan mencampurkan ramuan cintamu dengan ramuan pencahar. Bayangkan betapa romantisnya ketika kau sedang dimabuk asmara, tiba-tiba ...” Angie tidak melanjutkan kalimatnya, tetapi tatapan itu sudah cukup menjelaskan segalanya.

Tawa William meledak. “Astaga, Angie! Kau benar-benar kejam!”

Lihat selengkapnya