Cambridge, 2024
Pohon pinus tahu-tahu memutuskan untuk menjadi pusat perhatian, berderak-derak bagai kerasukan. Dedaunannya yang hijau tua kini berubah warna menjadi biru elektrik, menyala-nyala ibarat aurora kutub di tengah kampus yang tertib. Para mahasiswa, yang biasa tenggelam dalam buku dan laptop kini membelalak. Beberapa bahkan pingsan dramatis dengan fenomena alam yang absurd ini.
“Aiden Gryphon!” Dr. Winters mendesis dengan wajah memerah seperti kepiting rebus. “Apa yang kau lakukan pada pohon kesayangan kampus ini?!”
Dengan rambut awut-awutan serta kacamata hampir jatuh dari hidung, Aiden hanya cengengesan. “Sepertinya sedikit ... um, ketidaksesuaian pada generator Tesla coil-ku.”
Begitulah nasib seorang ilmuwan jenius. Kadang berhasil menemukan teori revolusioner, kadang membuat pinus kampus berubah jadi disko raksasa.
“Tenang, Dr. Winters!” Aiden berseru, sibuk memutar-mutar tombol alat aneh di tangannya. “Akan kuperbaiki.”
Namun, alih-alih memperbaiki keadaan, pohon pinus itu justru menyanyi. Menggelegar dengan suara bass yang berat, melantunkan “Bohemian Rhapsody” seakan-akan kampus Harvard baru saja jadi panggung konser dadakan.
“Aiden!” Dr. Winters kini sudah ingin meledak.
“Oke, oke! Tunggu sebentar!”
Aiden mengotak-atik alatnya dengan panik. Tangannya bergerak cepat, menindih tombol-tombol rumit bak pianis yang kesetanan.
“Nah!” katanya girang. “Seharusnya ini berhasil.”
Benar saja, pohon itu berhenti bernyanyi.
“Oh, Tuhan!” seseorang berteriak. “Pohonnya hilang!”
Di tengah Harvard Yard yang biasanya rapi, kini hanya tersisa lubang besar, bekas akar pohon yang lenyap entah ke mana.
Tatapan Dr. Winters pada Aiden bisa membuat Medusa sirik sekarang. “Gryphon,” desisnya sungguh berbahaya. “Ke ruanganku. Sekarang!”
Aiden menelan ludah dengan susah payah. Ia tahu akan dapat masalah besar. Namun, di dalam hatinya, ia merasa cukup bangga. Bagaimanapun, tidak banyak orang yang bisa membuat pohon pinus menghilang begitu saja.
Ya, setidaknya pohon itu bisa di mana saja sekarang.
Mungkin pohonnya sedang berlibur di hutan Amazon, berpesta di planet lain bersama alien, atau muncul tiba-tiba di halaman belakang sanctum William Constantine? Hanya Tuhan yang tahu.
❾¾
“Bisa jelaskan apa yang sebenarnya terjadi di luar sana, Mr. Gryphon?” Tatapan Dr. Winters menusuk-nusuk jiwa Aiden.
Aiden menggaruk tengkuk. “Well, Dok, saya menguji teori baru tentang manipulasi medan elektromagnetik untuk mentransfer energi tanpa kabel. Saya pikir, dengan memodifikasi frekuensi resonansi dari—”
“Dalam bahasa manusia, Aiden,” potong Dr. Winters dengan napas panjang.
Aiden berdehem, menata ulang penjelasannya. “Jadi begini … saya mencoba membuat listrik ‘melompat’ dari satu tempat ke tempat lain. Tanpa kabel.” Dia melirik hati-hati ke wajah Dr. Winters. “Tapi, mungkin ada sedikit … um, kesalahan hitung. Akibatnya, pohon pinus jadi … targetnya.”
Dr. Winters memijat pelipis. “Dan sekarang pohon itu menghilang. Fantastis sekali, Gryphon. Fantastis sekali.”
“Tapi, Dok, ini potensi besar!” Mata Aiden berbinar, antusias—seperti ilmuwan gila yang baru menemukan bahan bakar untuk eksperimennya. “Bayangkan, jika kita bisa transfer bukan hanya energi, tetapi juga benda! Kita bisa kirim makanan ke tempat yang membutuhkan, bantu korban bencana … bahkan mungkin bisa jelajahi waktu!”
Dr. Winters terdiam sejenak, menatap Aiden dengan kekesalan, tetapi tidak memudarkan kekaguman dirinya pada murid jeniusnya itu.
Dr. Winters menatap Aiden lama, mempertimbangkan apakah ia harus memuji atau membuang Aiden ke dimensi lain. “Kau tahu, Gryphon,” katanya akhirnya, “kadang-kadang aku sungguh bingung, harus kagum padamu atau mengutukmu jadi batu.”
Aiden menyengir. “Yang pertama saja, Dok.”
Dr. Winters mendengkus, tetapi ada senyuman tipis di bibirnya. “Baiklah, kau punya kesempatan memperbaiki semua ini. Tapi ingat, proyek Wardenclyffe-mu itu tetap prioritas utama. Jangan sampai terbengkalai. Kau punya tanggung jawab besar di sini.”
“Siap, Sir!” Aiden memberi hormat main-main. “Tidak akan mengecewakan Anda.”