Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Bicara soal warna, rambut Angie kini jadi pusat perhatian seluruh kota. Berkat ‘keajaiban’ ramuan William, helaian cokelat susu rambut Angie kini diwarnai ungu terang di ujungnya—membuat Angie terlihat seperti peri lavender yang tak sengaja nyasar ke abad pertengahan.
“Masih belum percaya kau menjadikanku trendsetter di abad ke-16 ini,” keluh Angie, walaupun senyuman geli mengembang.
William, yang tengah asyik mengepang rambut Angie dengan jemari terampil, terkekeh. “Hei, setidaknya kau menjadi satu-satunya orang di kota ini yang tampil dengan gaya begini. Anggap saja kau mendahului tren.”
“Ya, ya. Aku yakin para hipster di masa depan akan iri setengah mati,” sahut Angie sambil melirik William dari cermin.
Elina, yang sedang mengemas obat-obatan dan botol-botol kecil di pojok ruangan, menggeleng geli. “Kalian ini memang remaja kasmaran yang tiada duanya.”
“Memangnya kami bukan?” balas William, melingkari pinggang Angie mesra.
Pipi Angie kontan merona. Dia masih belum terbiasa dengan William yang blak-blakan dengan perasaannya. Namun, siapa yang bisa menolak alkemis tampan ini?
“Nah, sudah siap!” Elina menenteng keranjang. “Ayo, sebelum matahari terlalu tinggi.”
Mereka keluar dari sanctum, menemui dua ekor kuda yang sudah siap. Elina dengan cekatan naik ke punggung kuda cokelat, sementara William membantu Angie naik ke kuda putih sebelum dia menyusul di belakangnya.
“Pegangan yang erat,” bisik William di telinga Angie.
Perjalanan ke kediaman Kertakala ternyata jauh lebih menyenangkan dari yang Angie bayangkan. Bukan karena pemandangan kota yang masih asing, tetapi karena posisi duduknya di atas kuda bersama William.
“Will,” bisik Angie saat melingkari pinggang William, “Apa tidak masalah kita begini? Maksudku, bukankah ini terlalu menempel untuk standar abad ke-16?”
William terkekeh. “Angie, duduk berdua di atas kuda di sini sama wajarnya dengan minum kopi di zamanmu. Lagi pula,” matanya berkilat nakal saat dia menoleh, “aku menikmati setiap detiknya.”
❾¾
Wanita berambut hitam legam telah menunggu di depan pintu, menyambut mereka dengan senyum tipis. Morgana Kertakala—sosok yang selalu bisa membuat perut Angie serasa diaduk-aduk.
“Ah, para tamu kehormatanku!” sapanya manis, meski senyum itu justru membuat Angie ingin memutar balik. “William sayang, kau makin tampan saja.”
William berdeham canggung. “Terima kasih, Morgana. Kami ke sini untuk mengantar pesanan obat-obatanmu.”
“Oh, tentu, tentu. Namun sopankah kalau kalian tidak mampir untuk secangkir teh?” Morgana mengedipkan mata pada William, membuat Angie refleks mempererat pegangan di pinggang pria itu.