Cambridge, 2024
Tak pernah ia bayangkan akan menggelar konferensi pers di lokasi sekritis ini—toilet pria Gedung Fisika Harvard. Namun di sinilah dia, di tengah semerbak pembersih yang terlalu menyengat, berdiri kaku di hadapan cermin retak, dengan tiga mahasiswa pascasarjana—yang juga anggota tim setia penelitiannya—berdesakan di bilik-bilik sempit. Kepala mereka menyembul dari pintu setengah terbuka.
“Oke, Pasukan! Semua siap?” tanya Aiden, merapikan dasi kupu-kupu yang miring.
“Siap, Kapten!” Theo berseru dari bilik paling kiri. Kacamatanya berembun karena uap toilet.
“Aye, aye!” timpal Evelyn dari bilik tengah. Rambut keritingnya mencuat liar dari balik pintu.
“Um, kurasa aku tersangkut,” keluh Elias dari bilik paling kanan dengan suara teredam.
Aiden menghela napas. Beginilah nasib jadi ilmuwan muda jenius yang baru saja dapat pendanaan penuh untuk proyek revolusioner. Toilet jadi satu-satunya tempat aman dari serbuan wartawan dan mahasiswa penasaran tentang insiden ‘Hilangnya Pohon Pinus Harvard’ kemarin.
“Baiklah, mari kita mulai.” Aiden berdeham, menatap bayangan di cermin seolah sedang berbicara pada kamera yang tidak terlihat. “Selamat pagi, para penggemar setia sains serta gosip kampus. Saya, Aiden Gryphon, dengan bangga mengumumkan bahwa Proyek Wardenclyffe 2.0 resmi mendapat lampu hijau dan pendanaan penuh dari dewan Harvard!”
Tepuk tangan riuh terdengar dari ketiga bilik, disusul suara siulan dan bunyi toilet yang di-flush bersamaan.
“Terima kasih, terima kasih.” Aiden tersenyum lebar, berusaha menjaga kesan formal meski latar belakangnya sangat absurd. “Untuk menjawab pertanyaan yang paling banyak diajukan: Pohon pinus kesayangan kampus akan kembali. Saya dan tim sedang mengerjakan solusinya.”
“Bagaimana caranya, Bos?” tanya Evelyn penasaran.
Aiden menyeringai. Matanya berkilat penuh semangat. “Well, kita akan menggunakan prinsip yang sama seperti kita menghilangkan pohon pinusnya. Namun kali ini, kita akan membalikkan prosesnya.”
Aiden kini mondar-mandir, menggambarkan teori di udara. “Bayangkan pohon itu seperti file di komputer. Kita tidak sengaja meng-‘cut’ pohon itu dari realitas, dan kini, kita hanya perlu mencari file itu tersimpan, kemudian meng-‘paste’ kembali ke tempat asalnya.”
Theo menatap Aiden dengan kekaguman yang hampir membeku di wajah. “Wow, itu jenius!”
“Tapi bagaimana cara kita mendapat ‘file’ itu di antara semua kemungkinan?” tanya Elias, yang akhirnya lepas dari jerat pintu bilik.
“Itulah bagian paling serunya. Kita akan menggunakan Teorema Transport Kuantum yang baru kukembangkan.”
Dia meraih spidol dari saku jas lab, lalu mulai menulis serangkaian rumus rumitnya di cermin.
“Lihat, dengan memanipulasi fungsi gelombang pohon pada level kuantum, kita bisa melacak ‘jejak’ energinya di ruang-waktu. Selanjutnya, dengan menggunakan prinsip ketidakpastian Heisenberg dan sedikit bumbu entropi ...”
Aiden terus menerangkan. Tangannya bergerak lihai di permukaan cermin, menciptakan lebih banyak rumus dan diagram yang buat ketiga asistennya terkagum-kagum—meski sebenarnya separuh tidak mengerti.
“... dan ta-da! Kita punya koordinat pasti di mana pohon itu berada!” Aiden mengakhiri penjelasan dengan gaya flamboyan yang dramatis.
Sunyi sesaat.
“Um, Bos?” Evelyn angkat bicara. “Itu brilian sekali. Tapi bagaimana cara menerangkannya kepada wartawan tanpa membuat mereka mengalami serangan otak?”
Aiden terdiam, sadar bahwa penjelasan ilmiah super kompleksnya mungkin terlalu rumit untuk dikonsumsi publik. “Ah, benar juga. Bagaimana kalau kita bilang saja kalau kita akan gunakan ‘sihir sains’ untuk membawa pohon pinusnya kembali?”
“Perfect!” Theo menyahut. “Tambahkan sedikit frasa keren seperti ‘manipulasi matriks realitas’ serta ‘kalibrasi ulang fluks temporal’, dan mereka akan terpesona!”
Tawa meledak di toilet, menggema di dinding keramik dan memicu tatapan heran dari mahasiswa yang kebetulan lewat di luar.
“Oke, oke.” Aiden meredakan tawa. “Ada pertanyaan lain?”