Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Butiran salju pertama turun dengan lembut, seolah langit sedang menabur gula halus di atas kota yang biasa keras dan kejam.
“Will! Will!” serunya girang, melompat-lompat kecil seperti anak kecil yang baru pertama kali melihat salju. “Lihat! Saljunya turun!”
William, yang sedang asyik mengaduk ramuan di meja, menoleh sambil tersenyum. Rambut cokelat keemasannya acak-acakan dan ada noda ungu mencurigakan di pipinya. “Ya, aku lihat, Angie. Kau seperti tak pernah melihat salju saja.”
Bibir Angie mengerucut manja. “Hei, ini pertama kali aku melihat salju di abad ke-16! Ini ajaib.”
William meninggalkan ramuannya demi menghampiri Angie. Dia melingkari pinggang ramping wanitanya itu. Juga, dagunya bersandar nyaman di puncak kepala Angie. “Ya, kurasa memang ada sesuatu yang ajaib tentang salju pertama, terutama kalau dinikmati bersamamu.” Bibirnya melandas lembut di puncak kepala Angie. “Mau keluar dan bermain salju pertamamu? Aku punya ide gila.”
“Kau tahu betul aku suka ide gila.”
William menggandengnya menuju halaman belakang sanctum, di mana benda aneh—perpaduan papan seluncur dan sapu terbang—menanti mereka.
“Ta-da!” seru William riang. “Ini Snowglider 1555!”
Angie menatap benda itu dengan campuran kagum dan ragu. “Apa itu aman?”
William tertawa. “Tentu saja! Aku sudah mengujinya ... sekali.”
“Sekali?!” Angie memekik dengan mata melebar.
“Dan aku masih hidup, bukan?” William menggaruk tengkuk sambil menyengir.
Sebelum Angie bisa protes lebih jauh, William sudah menariknya naik ke Snowglider. Dengan satu sentakan, mereka meluncur di atas salju yang mulai menumpuk.
“Whoa!” teriak Angie, ketakutan dan gembira bekerja sama mengguncang perasaan. Lengannya memeluk erat pinggang William, seakan-akan berpegangan pada nyawa sendiri.
Mereka meluncur cepat dan membelah udara dingin, rambut mereka berkibar-kibar. Ujung-ujung ungu rambut Angie berkilauan tertimpa cahaya mentari musim dingin, seperti kristal es yang menari-nari.
“Ini gila!” teriak Angie di sela-sela tawa merdunya.
“Memang!” balas William penuh kegembiraan. “Tapi bukankah hidup butuh sedikit kegilaan?”
Mereka meluncur terus, melalui pepohonan yang mulai diselimuti salju, melewati jalanan kota yang mulai ramai, mengundang tatapan heran campur kagum dari penduduk Kota Sembilan Tiga Perempat.
Tak direncanakan sekali, Snowglider mereka menabrak gundukan salju. Mereka terlempar, berguling-guling di permukaan salju yang empuk sebelum akhirnya berhenti dramatis. William mendarat tepat di atas Angie, wajah mereka hanya berjarak beberapa sentimeter.
Sekilas waktu serasa mengendur, seakan-akan dunia membeku dalam momen yang menjarah napas ini. Mata mereka bertemu, napas mereka bersatu dalam uap putih di udara dingin. Jantung Angie berdentum kencang sekali, entah karena adrenalin dari peluncuran gila mereka atau kedekatan ini.
William tersenyum, menyibak lembut helaian rambut Angie yang menutupi wajah cantiknya. “Kau tahu, kurasa aku jatuh cinta pada musim dingin.”
Angie tersipu. Pipinya memerah bukan hanya karena dingin. “Benarkah?”
William mengangguk mantap. “Terutama pada bunga es cantik di ujung rambut ungumu.”
Mereka tertawa, masih dalam posisi yang sama, tanpa peduli dengan dinginnya salju atau tatapan orang-orang yang mulai berkumpul menyaksikan adegan dadakan ini.
“William! Angie!” Teriakan Elina memecah momen mereka. “Astaga, apa yang kalian lakukan di sana?”
William lekas-lekas bangkit, tak lupa membantu Angie berdiri. Mereka berdua menyengir malu pada Elina yang berkacak pinggang di ambang pintu sanctum.
“Kami ... um, sedang menguji alat transportasi baru,” William mencoba berkilah.
Elina geleng-geleng, tetapi senyum geli tersungging di bibirnya. “Dasar kalian ini. Segera masuk sebelum kalian membeku di luar.”