Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Manor Kertakala menjulang bagai kue pengantin bersalut es di bawah langit senja. Menaranya menusuk awan ungu, seolah berusaha menancapkannya di tempat. Kepingan salju berputar malas di udara, masing-masing bagai para pemain ice skating mungil yang tampil untuk menghibur ribuan penonton.
Angie berdiri di depan cermin, nyaris tak mengenali sosok yang menatap balik. Gaunnya, mahakarya sutra biru tengah malam dengan benang perak, membalut lekuk tubuhnya sebelum menjuntai ke lantai bagaikan air terjun debu bintang. Namun, rambutnya yang menjadi pesona utama—helaian berujung ungu yang kini ditata dalam sanggul rumit, berkilauan dengan serpihan salju kristal, bersinar nakal di bawah cahaya lilin. Kalung jam pasir pemberian William melingkari lehernya dengan anggun, berpadu sempurna dengan kulit putihnya yang lembut.
Ketukan lembut di pintu menariknya dari lamunan.
“Angie?” Suara William, hangat bak anggur rempah, mengalir melalui kayu. “Kau sudah siap?”
Pintu terbuka, dan seketika itu pula, dunia seakan-akan menahan napas. William berdiri di sana, memesona dalam setelan jas hitam yang gemilang. Rambut putih saljunya berkilau, kontras dengan pakaiannya. Matanya melebar, meneguk sosok Angie seolah dia adalah oasis di padang pasir yang kering.
“Kau tampak ...” Suara William tercekat. “Kau tampak seperti musim dingin itu sendiri, yang memutuskan untuk menurunkan anugerah pada kami makhluk fana ini.”
Pipi Angie menghangat. “Dan kau, Tuan Constantine, adalah pangeran tampan yang keluar dari dongeng.”
William menawarkan lengan dengan elegan. “Shall we, My Lady? Pesta dansa menanti, dan jika berlama-lama, aku khawatir akan menyarankan untuk melewatkannya dan menghabiskan malam di sini, hanya berdua.”
Angie tertawa ringan. “Dan melewatkan kesempatan untuk pamer kemampuan ice skating-mu? Tidak akan!”
❾¾
Saat mereka menuruni tangga megah, setiap pasang mata tertuju. Bisikan penuh rasa ingin tahu merayap melalui kerumunan, laksana angin lembut yang melintasi ladang gandum. Angie merapatkan pegangan di lengan William, bersyukur atas kehadirannya yang kokoh.
“Ingat,” ia berbisik, bibirnya hampir tak bergerak, “kau berada di bawah perlindunganku. Tidak seorang pun bisa menyakitimu di sini.”
Namun, sebelum Angie bisa membalas, sosok anggun muncul di hadapan mereka, seolah disihir dari kabut yang menempel di jendela. Kieran Kertakala berdiri di sana, memesona dalam setelan merah tua, seperti api yang menari di antara es dan salju.
“Angie,” ucap Kieran sambil mengambil tangan bebas Angie dan menciumnya. “Kau bersinar bagaikan bintang-bintang malam ini.”
Lengan William menegang di bawah jemarinya, tetapi suaranya tetap sopan. “Kieran. Pesta yang megah, seperti biasa.”
Mata Kieran tak pernah meninggalkan wajah Angie. “Aku benar-benar menyesal atas ketidakhadiranku ketika kunjunganmu kemarin. Jika aku tahu pemandangan indah seperti ini menghampiri, aku rela menggerakkan langit dan bumi untuk kembali lebih cepat.”
Angie merasakan getaran di perutnya—bukan kupu-kupu menyenangkan yang William biasa berikan, tetapi seperti ngengat terperangkap dalam stoples. “Kau terlalu baik, Kieran. Tapi itu hanya kunjungan singkat dan tidak istimewa.”
“Kalau begitu, kita harus memperbaikinya malam ini.” Kieran menawarkan tangan, “Maukah kau memberiku kehormatan untuk dansa pertama?”
William menggenggam tangan Angie sedikit lebih erat, tetapi sebelum dia bisa berbicara, suara baru memecah keheningan.
“Kakak sayang, bukankah kau melupakan sesuatu?”
Morgana hadir ke pandangan—sutra merah darah yang serasi dengan pakaian kakaknya. Senyumnya manis bagai madu, tetapi matanya berkilat dengan sesuatu yang jauh kurang mengenakkan.
“Dansa pertama secara tradisional milik tuan rumah dan nyonya rumah,” Dia mengingatkannya, tatapannya melayang acuh tak acuh melewati Angie. “Kecuali, tentu saja, kau berencana menggugat tradisi berabad-abad demi tamu misterius kita.”
Rahang Kieran mengencang, tetapi dia mengangguk. “Tentu saja, adikku. Betapa pelupanya aku.” Ia berbalik pada Angie, senyumnya tak pudar. “Aku akan mengklaim dansa itu nanti, My Lady. Saat ini, nikmati saja pestanya.”