Kota Sembilan Tiga Perempat, 1555
Salju turun perlahan, berkilauan laksana serpihan kristal, menciptakan pemandangan yang hampir magis di luar sana. Namun, bagi William, dunia bagaikan neraka yang membeku.
Dua pekan berlalu sejak pesta musim dingin itu, tetapi setiap harinya terasa lebih lama dari yang bisa dihitung jam pasir di meja. Di kamar luas dan mewah di Manor Kertakala, Angie terbaring tak bergerak, napasnya nyaris tak terdengar, sehalus hembusan angin. William duduk di sisi ranjang, menatap wajah pucat wanita yang sudah jadi seluruh dunianya. Jemarinya yang panjang dan tangguh—jemari alkemis berbakat—hanya mampu menggenggam tangan Angie yang dingin, seakan-akan dengan itu dia bisa mengalirkan kembali kehidupan ke dalam tubuhnya.
“Angie,” William membelai rambut Angie, “kau harus bangun. Salju makin tebal di luar sana. Aku tahu kau akan menyukainya.”
Namun, kelopak mata Angie tetap tertutup rapat seolah menolak untuk melihat dunia.
Pintu terbuka pelan, dan Elina masuk dengan nampan.
“Will,” katanya lembut. “Kau harus makan.”
William bahkan tak repot-repot menoleh. “Lain kali.”
Elina meletakkan nampan di meja samping, menghela napas. “Will, kau tidak bisa begini terus. Ini sudah dua minggu—”
“Dua minggu, tiga hari, empat jam, dan ...” William melirik jam pasir, “… dua puluh delapan menit.”
Elina menghela napas lebih dalam. “Kau benar-benar menghitungnya.”
William akhirnya mengalihkan padangan dengan mata redup dan berkantung. “Setiap detik tanpa Angie seperti siksaan yang tak berujung, El.”
Elina duduk di tepi ranjang, menyisir lembut rambut pendek Angie yang dipangkas—memudahkan perawatan. “Aku mengerti, Will. Tapi kau juga harus menjaga dirimu. Apa kau mau Angie bangun dan melihatmu seperti mayat hidup begini?”
William tersenyum getir. “Setidaknya dia bangun.”
Pintu kembali terbuka. Kali ini, Morgana yang masuk. Matanya langsung tertuju pada William. Senyum manis—terlalu manis—tersungging di bibir merah darahnya. “Oh, William. Masih di sini rupanya?”
William mengangguk, menjaga sikap. “Terima kasih atas kebaikan keluarga Anda.”
Morgana mendekat, tangan singgah di bahu William, mengusapnya dengan lembut. “Tentu saja, William. Kami senang bisa membantu.” Pandangannya meluncur ke arah Angie. “Bagaimana keadaannya?”
“Masih sama,” jawab William.
“Oh, betapa malangnya. Mungkin sudah waktunya kita mempertimbangkan kemungkinan terburuk?”
Tubuh William menegang. “Apa maksudmu?”
“Ya, kau tahu ... jika dia tidak bangun-bangun juga ...”