Cambridge, 2025
Langit Cambridge kelabu, seperti diselimuti awan yang sedang berjuang menahan tangis. Di tepi jendela, Aiden berdiri. Jemarinya melukis pola-pola abstrak di kaca yang dingin, makna-makna tersembunyi hanya bagi dirinya sendiri.
“Hei, Bos!” suara ceria Theo membelah keheningan, membawa kotak besar beraroma menggoda. “Tebak apa yang kubawa!”
Aiden berbalik, alisnya terangkat saat Theo memasuki lab dengan kotak pizza jumbo. “Theo, kau ingat aturan di sini, kan?”
Theo menyengir lebar. “Oh, ayolah! Sudah berhari-hari kita terkurung di sini. Sedikit pelanggaran aturan tak akan membuat laboratorium meledak, kan?”
“Ya, kecuali kalau pizza itu jatuh ke peralatan kita dan memicu ledakan nuklir mini,” Evelyn menyambar dari balik layar dengan nada sarkastis.
“Oh, diamlah, Eve! Kutahu kau tergiur juga.” Theo membuka kotak pizza, bau keju dan pepperoni langsung menyemarakkan ruangan.
Tak lama, pintu lab mendadak terbuka, dan Dr. Winters masuk dengan aura otoritas yang mengisi setiap sudut. Theo hampir tersedak, buru-buru menyembunyikan kotak pizza di belakang punggung, sementara Aiden, Evelyn, dan Elias berusaha memasang wajah ‘fokus-kerja’.
“Bagaimana perkembangan proyek Wardenclyffe, Mr. Gryphon?” Dr. Winters bertanya—pertanyaan yang sama setiap kali dia mengunjungi tim Wardenclyffe.
Aiden berdeham. “Sedang menyempurnakan algoritma transfer energi, Dok.”
Dr. Winters mengangguk, tetapi tertumbuk pada Theo yang berdiri kaku. “Dan apa yang ada di belakangmu, Mr. Montclair?”
“Oh ...” Theo tertawa gugup. “Hanya ... um, kotak komponen baru untuk Wardenclyffe Tree, Dok.”
“Benarkah?” Dr. Winters mendekat. “Boleh kulihat?”
Tepat saat Theo hendak menyerah dan mengaku, suara dari luar mengalihkan perhatian mereka.
♪ All too well, you kept me like a secret, but I kept you like an oath ... ♪
Semua mata ke luar jendela. Wardenclyffe Tree—yang berdiri megah di antara pohon pinus lainnya di Harvard Yard—daun-daunnya berkilau kebiruan, seirama dengan lagu Taylor Swift yang tiba-tiba mengalun.
Dr. Winters menghela napas pendek. “Saya masih tidak habis pikir kalian bisa membuat pohon pinus itu menjadi Swiftie juga.”
Aiden tersenyum tipis. “Ya, butuh sedikit improvisasi dan banyak kopi, Dok.”
“Dan pizza,” gumam Theo, yang langsung mendapat jitakan pelan dari Evelyn.
Dr. Winters menatap mereka satu per satu. “Lanjutkan kerja bagus kalian. Oh, dan, Mr. Montclair?”
“Ya, Dok?”
“Lain kali, pilih tempat persembunyian yang lebih baik untuk pizza-mu.” Dr. Winters mengedipkan mata sebelum berbalik keluar, meninggalkan Theo yang melongo.
Pintu tertutup, membungkus mereka dalam gelembung tawa lepas.
“Astaga, Theo!” Evelyn terkikik. “Wajahmu tadi!”
“Hei, setidaknya kita tak kena marah,” Theo membela diri, kembali membuka kembali kotak pizza.
Aiden menggeleng geli, kembali ke mejanya—di mana sebuah foto terpajang—dirinya dan Angie, tersenyum di depan Gedung Widener. Wajahnya tiba-tiba serius, jari-jarinya menyusuri wajah Angie dalam foto itu.
“Kau masih memikirkannya?” Elias, yang selalu lebih senang jadi pendengar, akhirnya angkat suara.
Aiden mengangguk. “Setiap detik.”
“Hei,” Evelyn menepuk bahunya lembut. “Kita akan menemukannya. Entah bagaimana caranya.”