Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Lonceng berdentang tiga kali.
Bagi sebagian orang, itu mungkin hanya suara penanda waktu. Namun bagi Angie, setiap dentangnya terasa bagai pukulan palu takdir, meraung dalam relung jiwanya yang terdalam.
Satu dentang—untuk masa lalu yang tertinggal.
Dua dentang—untuk masa kini yang membingungkan.
Tiga dentang—untuk masa depan yang tak pasti.
Di dunia yang seakan jungkir balik—di mana matahari terbit di Barat dan terbenam di Timur—kelopak matanya bagaikan ditindih miliaran safir. Namun, ketika membuka mata, mata sewarna madu itu terkunci pada pria tampan yang duduk di sampingnya.
Angie mengira masih terjerat dalam mimpi indah, atau mungkin telah melangkah ke alam surga yang tak sengaja meniru kamar mewah bergaya Victorian. Aroma mint dan kayu manis familier menyentuh indranya, mengonfirmasi bahwa semua ini nyata.
“Will ...?” Suaranya serak, nyaris tak terdengar.
William—yang sedang tenggelam pada buku tebal—tersentak. Buku itu terjatuh dengan dentuman keras ketika mendongak, mata biru lautnya melebar tidak percaya.
“Angie?” William berbisik, seolah takut suaranya akan memecahkan ilusi di hadapannya. “Kau ... kau bangun?”
Bibir Angie berusaha tersenyum, meskipun lebih mirip lengkungan bulan sabit. “Sepertinya begitu. Kecuali kau lebih suka aku tidur lagi?”
William tertawa kecil—suara yang begitu indah hingga Angie merasa semakin hidup lagi. Dalam sekejap, pria itu sudah berlutut di samping ranjang, menggenggam jemari Angie erat-erat seakan takut wanita itu menghilang lagi.
“Jangan berani-beraninya kau tidur lagi, Nona Masa Depan,” ancam William. “Atau aku akan menyusulmu ke alam mimpi dan menyeretmu kembali.”
Angie terkekeh pelan, tetapi di tengah tawa itu ia batuk kecil, mengingat betapa rapuhnya dirinya. William segera menyodorkan segelas air, membantunya minum perlahan.
“Berapa lama?” tanya Angie usai tenggorokannya tak lagi seperti gurun Sahara.
“Sebulan. Kau tertidur selama sebulan penuh, Angie.”
Sebulan—sebuah kata yang menghantam Angie bagai ombak pasang. Ingatannya perlahan merayap kembali—pesta musim dingin, lantai es yang retak, air yang dingin menusuk tulang, lalu ... kegelapan.
“Aku ... aku pikir aku akan kehilanganmu.” Bisikan William bergetar. “Tiap hari, tiap jam, aku berdoa pada Tuhan, pada alam semesta, pada apa pun yang mendengar. Aku memohon agar kau kembali.”
Angie menatap William lekat-lekat. Lingkaran hitam di bawah matanya, jenggotnya tumbuh tak beraturan, dan rambutnya acak-acakan. Namun di mata Angie, ia melihat pancaran cinta yang begitu dalam, begitu murni.
“Will, aku—”
Kata-katanya terputus ketika pintu kamar dibuka tiba-tiba, dan Elina melangkah masuk, semangatnya mampu memadamkan kebakaran hutan.
“Will! Aku bawa sup hangat untuk—Angie!”
Mangkuk sup di tangan Elina nyaris melayang ke udara saat ia melihat Angie yang sudah membuka mata. Dengan kecepatan yang menakjubkan, Elina meletakkan mangkuk itu di meja sebelum menghambur ke pelukan Angie, air mata langsung jatuh.
“Oh, Angie!” Elina terisak. “Kukira ... kukira kau tidak akan bangun lagi!”
Angie tersenyum, menepuk-nepuk punggung Elina . “Hei, tak segampang itu kalian menyingkirkanku.”
Elina tertawa di sela isak tangis. “Kau membuatku khawatir setengah mati!”
“Hanya setengah mati?” Alis Angie naik. “Kurasa aku harus berusaha lebih keras lain kali.”
“Jangan berani-berani!” William dan Elina bersamaan berseru, membuat Angie tersenyum lebar.
Elina menyeka air mata, memeluk Angie lagi. “Kupikir aku harus menunggu ratusan tahun lagi supaya melihatmu membuka mata!”
Angie membalas pelukan Elina. “Maaf membuatmu menunggu, El.”