Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Angie terbangun dengan perasaan aneh yang menusuk. Bukan ranjang empuk berkanopi atau aroma lavender dari lilin di pojok kamar, melainkan sesuatu yang lebih samar, lebih dalam. Rasa ganjil yang muncul setiap kali William menyusup dalam mimpinya.
“Oh, astaga,” dia mengusap wajah. “Sepertinya otakku korslet gara-gara jatuh ke air dingin itu.”
Namun senyum kecil yang menghiasi bibirnya berkata lain. Perlahan, dia beranjak ke jendela besar, menyapu pandangannya ke taman mawar di bawah sana. Mawar-mawar bermekaran, kupu-kupu menari di udara pagi, dan ...
“William?”
Jantung Angie seolah melompat keluar dari rongganya saat melihat pria itu berdiri gagah di bawah pohon ek tua, sedang berbincang serius dengan Kieran. Rambut cokelat keemasannya—yang sudah kembali—berkilauan ditimpa cahaya fajar, sementara jubah hitamnya melambai lembut dimainkan angin pagi.
“Kenapa dia sudah di sini sepagi ini?” bisik Angie pada diri sendiri, refleks merapikan rambut yang masih kusut.
Seolah mendengar, William mendongak, memandang langsung ke arahnya. Senyum hangat terlukis di wajah tampan itu, membuat Angie mundur panik.
“Sial, sial, sial! Mengapa aku jadi seperti gadis remaja yang baru pertama kali jatuh cinta?”
Namun, bukankah itu benar? Cinta pertamanya di abad ke-16 ini?
Lamunannya terhenti oleh ketukan halus di pintu.
“Masuk,” ucap Angie, berusaha menenangkan degup jantung yang belum tenang.
Pintu berderit pelan, dan Elina masuk dengan nampan sarapan yang mengepul harum.
“Selamat pagi, Sleeping Beauty!” seru Elina girang. “Tidur nyenyak? Mimpi indah?”
Angie tersenyum. “Pagi, El. Ya, tidurku nyenyak. Tapi kurasa mimpiku lebih aneh dari indah.”
“Oh, ya?” Elina menaruh nampan di meja dengan alis terangkat penasaran. “Mimpi apa? Ayo, ceritakan!”
Angie menggigit bibir. “Aku ... aku bermimpi tentang Will—maksudku, William.”
“Ah.” Elina menyeringai jahil. “Mimpi basah, ya?”
“Elina!” Angie berteriak kecil, melempar bantal yang langsung dihindari Elina dengan cekatan.
“Apa? Itu wajar, tahu! Apalagi dengan kakakku yang setampan itu. Kalau aku bukan adiknya, mungkin aku juga akan—”
“Sudah, stop!” Angie mengangkat tangan. Wajahnya merona. “Bukan seperti itu. Ini lebih ... aneh.”
Elina duduk di pinggir ranjang. Mata hijaunya berkilat penasaran. “Ceritakan!”
Angie menarik napas panjang. “Aku bermimpi kalau aku dan William ... menikah.”
“Apa?!” Elina nyaris terjungkal dari ranjang. “Astaga, Angie! Itu bukan mimpi aneh, itu pertanda!”
“Pertanda?” Angie mengerutkan dahi.
“Pertanda kalian berjodoh, tentu saja!” Elina menepuk tangan antusias. “Oh, aku sudah tidak sabar melihatmu memakai gaun pengantin dan berjalan di altar bersama Will—”