Cambridge, 2025
Pantulan dalam cermin mengamati refleksi aslinya yang lelah. Lingkaran hitam di bawah matanya semakin gelap, menandai malam-malam tanpa tidur yang tidak terhitung. Jemari panjangnya mengusap jenggot tipis yang tumbuh tak beraturan di dagunya.
“Kau sangat menyedihkan,” katanya pada bayangan di cermin.
Di atas lemari pakaian, Anile mengeong keras, seolah setuju. Mata hijau cemerlangnya menyorot Aiden dengan tajam.
“Diamlah,” gerutunya. “Kau tak berhak mengomentari penampilanku. Setidaknya aku mandi.”
Dengkuran Anile terdengar seperti tawa mengejek.
Aiden memutar mata. “Aku akan bercukur sekarang. Senang?”
Dengan sedikit enggan, dia meraih pisau cukur, tetapi belum sempat mengoleskan busa, ponsel berdering. Nama “Jocelyn” berkedip-kedip di layar.
Aiden menghela napas panjang sebelum menjawab, “Halo, Jo.”
“Aiden.” Suara Jocelyn terdengar tegang. “Kita perlu bicara.”
Tiga kata yang paling ditakuti tiap pria di muka bumi ini. Aiden menelan ludah. “Tentang?”
“Tentang kita. Tentang semuanya.”
Dia memejamkan mata, merasakan beratnya kenyataan yang mengimpit. Hari ini akhirnya tiba, dan meski dia tahu, rasanya tetap menyakitkan. Hubungannya dengan Jocelyn berada di ujung tanduk.
“Baiklah,” jawab Aiden akhirnya. “Di mana?”
“Stellar Sip. Sejam lagi.”
“Oke. Sampai nanti.”
Setelah menutup telepon, dia menyandarkan kening ke cermin, mengeluarkan keluhan frustrasi. “Sial!”
Anile melompat turun dari lemari, mendarat mulus di bahu kanan Aiden. Kucing itu mengeong pelan, mengusap lembut wajah Aiden dengan kepalanya.
“Thanks, Buddy.” Aiden tersenyum lemah, menggaruk dagu Anile. “Kau satu-satunya yang tak menghakimiku.”
❾¾
Semerbak kopi menguar, memenuhi rongga penciuman, membuat perutnya yang kosong semenjak kemarin malam bergemuruh protes.
Di meja pojok, Jocelyn duduk menawan. Dua cangkir kopi mengepul di hadapannya. Rambut hitam legamnya, yang biasanya tergerai, kini disanggul rapi, membingkai wajahnya yang cantik namun tegang.
“Hei,” sapa Aiden canggung, menurunkan diri ke kursi di hadapan Jocelyn.
“Aiden,” Jocelyn menoleh, “kau tampak berantakan.”
Aiden mengangkat bahu, “Well, sihir memang selalu menguras energi.”
“Proyek Wardenclyffe lagi?”
Aiden mengangguk. “Aku hampir menyempurnakan desain towernya. Hanya perlu sedikit penyesuaian lagi—”
“Aiden,” Jocelyn memotong ringan. “Kita perlu bicara. Tentang kita.”
Aiden terdiam. Matanya beralih ke cangkir kopi yang mulai dingin, berharap menemukan jawaban di dalamnya.
“Aku tahu,” ujarnya pelan. “Maafkan aku, Jo. Aku tahu aku bukan pacar yang baik belakangan ini. Aku terlalu fokus pada proyek dan—”
“Bukan hanya itu,” Jocelyn menggeleng. “Ini bukan sekadar proyek Wardenclyffe-mu, atau tentang bagaimana kau selalu lupa kencan kita, atau tentang bagaimana kau lebih suka menghabiskan waktu dengan kucing anehmu itu.”
“Hei, Anile tidak aneh. Dia hanya ... spesial.”
Jocelyn mengunci tatapan pada Aiden. “Lihat? Bahkan sekarang kau lebih membela kucingmu daripada aku.”
Aiden terdiam, menyadari kebodohannya.
“Ini tentang Angie,” lanjut Jocelyn. “Selalu tentang Angie.”
“Jo, aku—”
“Dengarkan dulu, Aiden,” Jocelyn mengangkat tangan. “Aku tahu kau masih mencintainya. Setiap malam kau bermimpi tentang dia. Aku tahu setiap detik yang kau habiskan demi proyek itu, setiap menit yang kau habiskan bersama Detektif West untuk memecahkan misteri kalung jam pasir itu—semuanya untuk Angie.”
Aiden tertegun, melihat bulir-bulir air asin yang mulai menggenang di sudut mata Jocelyn.
“Dan aku? Aku hanya bayanganmu, boneka yang bisa kau ganti kapan saja kau bosan.”
“Jo, itu tidak benar ...”
“Jangan bohong, Aiden. Aku tahu. Aku selalu tahu. Tapi aku berpura-pura tidak peduli karena ... karena aku mencintaimu.”