Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Satu hal yang pasti tidak akan Angie sarankan setelah setahun berjuang di abad ke-16 ini adalah: korset!
“Aku tidak bisa bernapas, El!” Angie tersengal-sengal, mencengkeram pinggiran meja rias saat Elina menarik tali korsetnya dengan kekuatan yang tidak manusiawi.
Elina terkekeh. “Oh, ayolah, Angie. Kecantikan butuh pengorbanan.”
“Ya, pengorbanan, bukan pembunuhan!” protes Angie. “Lagi pula, bukankah kita hanya akan ke pasar!”
“Justru itu! Kau tidak akan pernah tahu apa yang bisa terjadi di pasar. Siapa tahu kau bertemu pangeran berkuda putih.”
Angie melipatkan mata. “El, kita hidup di abad ke-16, bukan di dongeng Disney.”
“Disney?” Elina mengernyit. “Apa itu Disney?”
“Lupakan,” Angie mengibaskan tangan. “Intinya, aku tak butuh pangeran berkuda putih. Aku sudah punya ... um ...”
“William?” Elina menyeringai jahil.
“B—bukan! Maksudku, ya, tapi ... oh, sudahlah!”
Elina tertawa melihat wajah Angie yang merona. “Kau tahu, Angie? Untuk seorang perempuan dari masa depan, kau payah sekali dalam urusan cinta.”
“Hei!” Angie merengut. “Aku bukan payah. Hanya ... kompleks.”
“Oh, tentu.” Elina mengangguk—sok serius. “Sangat kompleks sampai-sampai kau tidak dapat memilih antara kakakku yang tampan, maupun Kieran yang ... yah, juga tampan.”
Angie mengerang, jengah. “El, tolong. Jangan mulai.”
“Baiklah,” Elina angkat tangan, menyerah. “Ayo! William dan Kieran pasti sudah bosan menunggu di bawah.”
Dengan satu tarikan napas terakhir—yang Angie yakin mungkin akan jadi tarikan napas terakhirnya kalau korset ini lebih ketat lagi—ia mengikuti Elina keluar kamar.
Di ruang depan Manor Kertakala, di mana cahaya lilin menari-nari di atas marmer berkilau, William dan Kieran berdiri bersisian seakan mewakili dua kutub yang bertolak belakang.
“Ah, akhirnya!” Kieran tersenyum lebar begitu melihat Angie. “Kupikir kalian tersesat di lemari pakaian.”
William mendengkus. “Mereka bukan kau, Kieran. Tak semua orang berjam-jam demi memilih jubah.”
“Oh?” Kieran mengangkat alis. “Setidaknya aku tidak menghabiskan berhari-hari di laboratorium untuk meracik ramuan cinta yang gagal.”
“Itu bukan ramuan cinta!” William menggeram. “Itu eksperimen yang sangat penting untuk—”
Angie berdeham, menyela perdebatan konyol mereka. “Bukankah kita seharusnya pergi ke pasar?”
William dan Kieran sesaat diam, tersenyum canggung seperti dua bocah yang baru tertangkap basah mencuri kue dari dapur.
“Tentu saja, My Lady,” Kieran membungkuk hormat. “Kereta sudah menunggu di luar.”
William cepat menawarkan lengan pada Angie. “Biar kubantu kau naik, Angie.”
Kieran tak mau kalah, juga mengulurkan tangan. “Atau mungkin kau lebih suka bantuanku?”
Angie melirik Elina, yang berjuang menahan tawa.
“Kurasa aku bisa naik sendiri.”
Dengan langkah anggun—setidaknya seanggun yang mampu dia lakukan dengan korset super ketat—Angie melewati kedua pria itu dan naik ke kereta. William dan Kieran sempat saling lempar tatapan kompetitif sebelum mereka menyusul Angie dan Elina ke dalam kereta.
Sepanjang perjalanan, Angie berusaha keras menahan senyum geli akan tingkah William dan Kieran. Keduanya duduk berseberangan, berusaha terlihat seakrab mungkin.
“Wah, William,” Kieran tersenyum manis, “jubahmu hari ini sangat menarik. Seperti kain lap baru dicuci.”
William membalas dengan senyum yang tidak kalah manis. “Terima kasih, Kieran. Topi bulumu juga sangat unik. Mengingatkanku pada kepala burung unta yang baru dicukur.”
Elina terbatuk-batuk, berusaha menyamarkan tawanya. Angie menggigit bibir kuat-kuat, juga tidak ingin terlihat tidak beradab.
❾¾
Pasar Kota Sembilan Tiga Perempat tidak pernah gagal membuat Angie terpukau. Berbeda dengan pasar modern yang cenderung steril dan teratur, pasar ini adalah paduan sempurna antara kekacauan dan keindahan. Dan kali ini, hampir setiap kios dan toko dicat warna-warna cerah yang mencolok.
“Wow!” Angie berbisik tak percaya. “Aku tidak ingat pasar ini begitu berwarna.”
William tersenyum. “Karena hari ini Festival Cokelat tahunan.”
“Festival ... Cokelat?” Angie mengerjap bingung.
Kieran mengangguk. “Selama seminggu, seluruh kota akan dipenuhi cokelat dan segala hal yang berbau cokelat. Lihat saja di sana!”
Angie mengikuti arah tunjuk Kieran, melebar kagum pada air mancur raksasa yang mengucurkan aliran cokelat kental yang nikmat. Anak-anak berlarian di sekelilingnya, memperebutkan cokelat itu dengan cangkir-cangkir kecil yang tampaknya tidak akan pernah cukup.
“Itu ... sungguhan?” Angie berusaha meyakinkan diri.
“Tentu!” William menyahut. “Mau coba?”