Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Bahkan di zaman di mana internet dan media sosial belum terbayangkan, kabar burung dapat merambat lebih cepat dari wabah pes. Dan Angie—perempuan asing yang jatuh dari langit—secara harfiah—jadi buah bibir favorit para penggosip ulung Kota Sembilan Tiga Perempat.
“Psst! Itu dia, si penyihir air!”
“Ssst! Jangan keras-keras! Jika Lord Kertakala dengar, bisa-bisa kita dijadikan santapan Basilisk-nya!”
Angie menghela napas panjang, berupaya acuh pada bisik-bisik yang mengikutinya sepanjang jalan menuju pasar kota. Sudah sebulan berlalu sejak insiden “Dansa Maut di Danau Es”—begitulah judul yang diberikan para penggosip—tetapi tampaknya orang-orang masih belum bosan membicarakannya.
“Nona Angie!”
Angie menoleh ke arah pemilik suara riang itu. Gadis kecil bermata hijau terang berlari ke arahnya, membawa seikat bunga liar yang dipeluk erat.
“Oh, halo, Layla.” Angie tersenyum sambil mengusap kepala gadis itu. “Bagaimana kabarmu?”
“Baik sekali!” Layla memberi bunganya. “Ini untuk Nona Angie. Terima kasih sudah menyembuhkan ibuku.”
Angie menerima bunga itu dengan hangat, “Dengan senang hati, Layla Sayang. Tapi ingat, bukan aku yang menyembuhkan ibumu. Nona Elinalah pahlawan yang sebenarnya.”
“Tapi Nona Angie yang menemukan obatnya di buku ajaib itu!” Layla bersikeras.
Ah, buku ajaib itu—yang sebenarnya hanya buku saku kedokteran modern yang Angie bawa saat ia, tak sengaja, terdampar di abad ini.
“Nona Angie! Awas!”
Jeritan Layla menggugah lamunan Angie. Kereta kuda berdentum kencang ke arah mereka. Tanpa pikir panjang, Angie menarik Layla ke tepi jalan, nyaris tersandung gaun panjangnya sendiri, memeluk Layla erat-erat, menjadikan tubuhnya tameng supaya gadis kecil itu tidak basah ketika kubangan air kotor membuka tangan pada mereka.
“Ya ampun! Angie, kau tidak apa-apa?”
Angie mendongak, mendapati wajah khawatir Kieran. Dia segera turun dari kuda. Rona marah di wajahnya.
“Siapa pengemudi kereta sialan itu? Akan kubuat dia menyesal dilahirkan!” geram Kieran.
“Tidak apa-apa, Kieran. Kami baik-baik saja,” Angie berusaha menenangkan Kieran yang terbakar emosi.
Angie bangkit, menepuk-nepuk gaunnya yang kotor. “Lihat? Hanya sedikit terciprat.”
Kieran menggeleng. “Tidak, Angie. Mereka tidak bisa dibiarkan. Kau tamu kehormatan Kertakala. Membiarkan kau berjalan-jalan sendirian seperti ini ... ah, aku sungguh lalai!”
Angie tertawa kecil sembari menunjuk Layla, yang masih memeluk kakinya erat-erat. “Aku tidak sendirian. Ada pengawalku yang tangguh di sini.”
Layla tersenyum selebar mungkin, memamerkan gigi depannya yang ompong, membuat Kieran tertawa kecil.
“Baiklah, Nona Pengawal Cilik. Terima kasih sudah menjaga Nona Angie. Sekarang, biarkan aku mengambil alih tugas muliamu.”
Kieran melepas jubah sutranya dan menyampirkannya di pundak Angie. “Nah, sekarang kau tidak perlu khawatir akan tatapan orang-orang.”
Angie memutar mata. “Ini sedikit lumpur saja, bukan jubah tembus pandang.”
“Tetap saja!” Kieran bersikeras. “Kau adalah permata Kota Sembilan Tiga Perempat. Tak boleh ada setitik noda pun menodai keindahanmu.”
“Cih.”