Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #40

Blueberry Sundae

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556

Ruangan itu melahap Angie bulat-bulat. Dinding-dinding mahoni mengilap tampak seperti rahang raksasa yang siap mengunyahnya kapan saja. Lukisan-lukisan para leluhur keluarga Kertakala dari balik bingkai emas menatapnya tajam, seperti berteriak, “Penyusup!” tanpa suara. Dan di balik meja megah yang menyerupai singgasana raja kuno, duduk Lord Kertakala dengan tatapan setajam belati es.

Angie menelan ludah, sudah membayangkan skenario terburuk. Jika tatapan bisa membunuh, dia mungkin sudah jadi fosil sekarang.

“Jadi, kau yang mencuri hati putraku?” Lord Kertakala memulai dengan nada menyelidik.

Dan juga hati alkemis paling didambakan wanita se-kota,” batin Angie, tetapi tentu dia tidak mengatakannya. Alih-alih, dia tersenyum sopan, berusaha terlihat setenang mungkin meski jantungnya bagai genderang mau perang.

“Saya merasa terhormat bisa tinggal di manor Anda yang megah ini, Lord Kertakala,” balasnya dengan suara sedikit bergetar.

Lord Kertakala mengangkat alis tinggi-tinggi, seolah alis itu hendak melayang dari tempat. “Terhormat? Hm, menarik. Tapi kau tahu yang lebih menarik? Fakta bahwa identitasmu yang masih jadi misteri.”

Keringat dingin mulai membasahi telapak tangannya. Angie berusaha mengingat-ingat cerita yang dia, William, dan Elina telah susun dengan hati-hati.

“Saya dari desa di Timur, My Lord. Tempat yang tidak terjangkau peta.” Suara Angie berusaha stabil.

“Oh? Dan bagaimana seorang wanita desa bisa punya pengetahuan yang demikian luas? Kudengar kau mampu berbicara dalam beberapa bahasa dan memahami konsep-konsep yang bahkan para cendekiawan kami pun masih telaah.”

Sekakmat! Rasanya bagai tikus yang tersudut kawanan kucing lapar. Matanya liar, mencoba mencari jawaban dan inspirasi dari sudut-sudut ruangan.

“Ayah saya—dia pengembara. Dia mengajarkan saya banyak hal dari tiap perjalanannya,” ujar Angie, berharap kebohongannya tidak terlalu mengada-ada.

Lord Kertakala mengetuk-ngetukkan jari di atas meja, irama yang terdengar seperti detik-detik menuju eksekusi. “Pengembara? Menarik. Dan di mana ayahmu sekarang?”

“Dia ... dia telah tiada, My Lord. Meninggal dalam perjalanannya yang terakhir,” Angie menunduk, berusaha terdengar sedih, yang baginya tak terlalu sulit mengingat situasinya saat ini.

Sesaat, keheningan menyelimuti, bagaikan waktu pun enggan berputar. Lord Kertakala memandangnya dua kali lebih tajam, seakan hendak menguliti pikirannya sampai tuntas.

Namun, tanpa direncanakan, suasana tegang mencekik ruangan terputus oleh seruan riang.

“Kupu-kupu! Kupu-kupu merah muda!”

Layla, dengan gaun tidur yang kusut dan rambut acak-acakan, menerobos masuk ke ruangan. Di belakangnya, seekor kupu-kupu merah muda melayang anggun, seolah mengejek para penjaga yang kewalahan mengejar gadis kecil itu.

Lihat selengkapnya