Sembilan Tiga Perempat

angel
Chapter #42

Api yang Membekukan, Es yang Menghangatkan

Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556

Jeritan tertahan di tenggorokan ketika Elina terbangun. Keringat dingin membasahi gaun tidurnya yang membalut tubuhnya yang gemetar. Matanya liar menyapu sekeliling, berusaha meyakinkan diri bahwa dia berada di kamarnya, bukan di tengah alun-alun kota yang dipenuhi teriakan-teriakan penuh kebencian.

Bayangan kobaran api dan wajah ibunya yang penuh kesedihan tergambar jelas di retina matanya. Aromanya—campuran asap dan daging terbakar—masih menempel di hidungnya, bersama dengan jeritan pilu yang menggema dalam ingatannya.

❾¾

Elina kecil bersembunyi di balik tong kayu. Matanya terbelalak ngeri, menyaksikan ibunya diseret ke tengah alun-alun. Wanita itu, dengan rambut pirang kusut dan gaun compang-camping berlumur noda, meronta-ronta di cengkeraman dua pria bertubuh kekar, yang menyeretnya tanpa kenal belas kasihan.

“Lepaskan aku! Aku bukan penyihir!” jerit ibunya, air mata bercampur darah dari luka di pelipis.

Seorang pendeta tua, dengan jubah hitam, melangkah maju, tongkatnya mengetuk-ngetuk tanah dengan irama mencekam.

“Lucrezia Constantine!” Suaranya serak dan penuh kebencian, “Kau dituduh sudah melakukan praktik sihir terlarang. Apa pembelaanmu?”

“Aku hanya mengobati orang sakit!” Lucrezia berseru putus asa. “Demi Tuhan, aku menyelamatkan nyawa!”

Tawa memperolok menusuki udara. “Menyelamatkan nyawa? Dengan ramuan-ramuan anehmu dan mantra-mantra sihir yang kau bisikkan? Kau sudah memperdaya kami semua!”

Elina ingin berlari, ingin menjerit, tetapi kaki terasa terpaku ke tanah. Dia hanya bisa menyaksikan dengan ngeri ketika ibunya diikat ke tiang kayu besar di tengah alun-alun.

“Bakar dia! Bakar penyihir itu!” teriak seseorang dari kerumunan.

“Tunggu!” Sebuah suara akrab membelah keramaian. William—wajahnya pucat pasi, menerobos kerumunan. “Hentikan! Ibuku bukan penyihir!”

Pendeta itu menoleh dengan mata menyipit. “Ah, si jenius muda William Constantine. Tentu saja kau akan membela ibumu. Tapi lihatlah faktanya. Pengetahuanmu yang tidak wajar itu—dari mana kau mendapatkannya kalau bukan dari sihir?”

William menggertakkan gigi. “Ini bukan sihir! Ini ilmu pengetahuan! Aku bisa menjelaskannya!”

“Ilmu pengetahuan?” Pendeta itu mendengkus. “Ilmu pengetahuan macam apa yang mampu menyembuhkan penyakit dalam semalam? Menghidupkan kembali orang yang hampir mati? Tidak, ini pasti sihir hitam!”

Kerumunan mulai bergumam setuju. William, dengan keputusasaan yang jelas di matanya, berusaha mendekati ibunya. Namun dua pria kekar segera menahannya.

“Lihat! Penyihir muda itu mencoba membebaskan ibunya!” seru seseorang dari kerumunan.

“Bakar mereka berdua!” teriak yang lain.

Elina menutup telinga, air mata mengalir deras di pipi. Dia menyaksikan horor saat William diseret dan diikat di sebelah ibunya.

“Elina! Lari!” William berteriak, mencari-cari sosok adiknya di antara kerumunan. “Lari dan jangan pernah kembali!”

Api mulai dinyalakan. Asap hitam membubungi udara, berbaur dengan jeritan-jeritan kesakitan dari dua orang yang paling dicintai Elina.

“Tidak!” Elina akhirnya mendapatkan suara, berlari keluar dari persembunyian. “Ibu! William!”

Namun dia terlambat. Api telah melahap habis tiang kayu itu, menyisakan angin yang membawa serpihan abu dan kenangan pahit.

❾¾

Napasnya ditarik dalam-dalam, berusaha mengenyahkan bayangan mengerikan itu dari benaknya. Bayangan kelam itu bagai belatung dalam pikirannya, terus menggeliat, tak mau sirna meski sudah bertahun-tahun berlalu.

Perlahan, Elina bangkit. Langkahnya gemetar menuju jendela. Pagi sudah menyingsing, menyiramkan semburat keemasan pada atap-atap Kota Sembilan Tiga Perempat. “Kota yang indah,” pikirnya getir, tetapi juga kota yang menyimpan kekejaman tak terbayangkan.

Suara ketukan lembut di pintu mengudara.

“Elina? Kau sudah bangun?”

“Ya, aku sudah bangun.” Suaranya bergetar, meski ia berusaha menenangkannya.

Lihat selengkapnya