Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Layla melompat-lompat girang. Gaun merah muda musim seminya bergoyang tertiup angin ketika kepangan rambut pirang keemasan berayun lucu mengikuti langkahnya. Di tangan mungilnya, undangan berkilauan terbuka, tintanya masih basah dengan aroma yang menggelitik hidung.
“Pesta es krim! Pesta es krim!” Suaranya melengking tinggi, membelah udara pagi yang sejuk.
Lelaki tua, yang tengah menyapu halaman rumahnya, mengangkat alis tinggi pada keceriaan gadis kecil itu. “Es krim? Apa itu, Nak? Semacam ramuan sihir?”
Layla terkikik geli, seolah itu lelucon paling besar pagi itu. “Bukan, Pak Tua! Ini makanan ajaib dari Nona Angie! Dingin seperti salju, tapi manis seperti madu!”
Pak Tua itu menggaruk-garuk jenggotnya yang sudah memutih. “Hm, kedengarannya mencurigakan. Apa kau yakin ini bukan tipu muslihat penyihir?”
“Tentu saja bukan!” Layla berkacak pinggang. Pipinya mengembung lucu. “Nona Angie bukan penyihir. Dia ... dia ... cendekiawati!”
Kata terakhir itu diucapkan dengan penuh kebanggaan, meski Layla sendiri tidak yakin apa artinya. Yang dia tahu, kata itu sering digunakan William untuk menggambarkan Angie.
“Cendekiawati, ya?” Pak Tua itu terkekeh. “Baiklah, mungkin aku akan datang ke pesta es krim. Sudah lama kota kita tidak punya alasan untuk bersuka cita.”
Layla mengangguk antusias, kemudian berlari kencang menuju pusat kota. Undangan di tangannya berkibar bagai bendera kemenangan. Di sepanjang jalan, dia berseru-seru memberitahu setiap orang yang ditemuinya tentang pesta es krim yang akan digelar di Manor Kertakala.
❾¾
Di dapur Manor Kertakala, kesibukan sudah terasa sejak fajar menyingsing. Angie, dengan rambut cokelat dikuncir tinggi dan celemek putih yang kini bernoda warna-warni, sibuk memberi arahan.
“Ingat, aduk terus! Dan jangan sampai menggumpal!” serunya, mengawasi puluhan pelayan yang kini beralih profesi jadi pasukan pembuat es krim dadakan.
Di sisi lain dapur, William yang entah bagaimana bisa menyelinap masuk tanpa diusir, berdiri di samping Angie. Sorot matanya tidak pernah lepas darinya, seolah Angie adalah pusat semesta dan dia hanyalah bulan yang beredar mengitarinya.
“Yakin ini akan berhasil?” tanyanya. Suaranya sedikit ragu meski matanya penuh kekaguman.
Senyum cerah di wajah Angie mampu menyaingi sinar mentari pagi. “Tentu saja! Percayalah, Will. Es krim ini akan mengubah Kota Sembilan Tiga Perempat!”
“Mengubah?” William bergumam. Jarinya tanpa sadar membelai kalung jam pasir yang melingkari leher Angie. “Kuharap perubahan yang baik.”
Mata mereka bertemu sesaat. Ada kedalaman samudra di mata pria itu, sesuatu yang selalu membuat jantungnya bekerja lebih ekstra. Namun, sebelum kata-kata meluncur, suara ceria dari arah pintu mengalihkan perhatian mereka.
“Nona Angie!” Layla masuk dengan tersengal-sengal. “Semua orang sangat penasaran dengan es krim. Ada yang bilang itu ramuan sihir!”
Angie tertawa. “Bukan sihir, Sayang. Tapi mungkin ... sedikit keajaiban.”
“Keajaiban, ya?” Suara berat itu membuat semua orang di dapur menoleh. Lord Kertakala berdiri di ambang pintu. Sosoknya yang besar memenuhi bingkai kayu. “Kuharap kau tahu apa yang kau lakukan, Angie. Reputasi keluarga Kertakala dipertaruhkan dalam pesta ini.”
Angie menegakkan tubuh. Dagunya terangkat penuh percaya diri. “Percayalah padaku, My Lord. Pesta ini akan jadi legenda yang akan diceritakan turun-temurun.”
Lord Kertakala mengangguk, kemudian berbalik pergi. Namun, sebelum benar-benar keluar, dia berhenti sejenak dan menoleh pada William. “Oh, dan William? Pastikan tanganmu sibuk dengan es krim saja. Bukan dengan … hal lain.”
Wajah William merona sekejap, sementara Angie pura-pura sibuk dengan adonan es krim.
❾¾
Waktu berlalu secepat lelehan es krim di sengat matahari, dan halaman Manor Kertakala sudah disihir jadi surga es krim. Puluhan meja panjang berjejer, masing-masing dipenuhi mangkuk-mangkuk es krim warna-warni yang memancing air liur.
“Es krim! Es krim!” Layla berseru girang. Suaranya bersahutan dengan dentingan lonceng-lonceng kecil yang terpasang di setiap sudut halaman.
Pesta es krim—hal yang asing tetapi mendebarkan bagi penduduk Kota Sembilan Tiga Perempat—jadi kenyataan. Manor Kertakala, yang biasanya angkuh dan sepi, kini disulap jadi negeri ajaib musim panas di tengah musim semi. Pepohonan dihiasi permen kapas raksasa, dan air mancur halaman menyemburkan sirop manis berwarna-warni, membentuk pelangi cair yang menggoda.
“Layla, hati-hati!” Angie berlari mengejar gadis kecil itu, yang kini melesat ke stan es krim berbentuk kerucut raksasa.
Di sampingnya, William merangkul pinggang Angie, senyum lembut tersungging di wajahnya. “Biarkan saja. Sudah lama aku tak melihat Layla sebahagia ini.”
Angie mengangguk. Matanya menelusuri kerumunan yang memenuhi halaman Manor Kertakala. Wajah-wajah yang biasanya tegang dan was-was kini dipenuhi tawa dan keceriaan. Untuk sesaat, witch hunt dan ketakutan akan sihir seolah terlupakan, tergantikan oleh keajaiban manis bernama es krim.