Cambridge, 2025
“Manusia selalu mempermudah hal yang sulit, dan mempersulit hal yang mudah.” - Dr. Quantum, sambil mengaduk kopi dengan garpu
Dengung listrik statis memenuhi udara, berbaur dengan aroma kopi dari termos-termos yang berjejer di atas meja lipat. Elias dan Theo, dengan mata yang tidak berkedip, memandang benda misterius di hadapan mereka—sebuah perangkat seukuran telapak tangan yang sekilas seperti perpaduan iPod dan tricorder dari Star Trek.
“Aku menyerah,” desah Elias, mengacak rambut yang sudah berantakan. “Ini jelas bukan teknologi abad ke-21. Heck, mungkin abad 22 pun tampaknya belum siap untuk ini.”
Theo mengangguk, permukaan halus benda itu dengan hati-hati disentuhnya. “Dan label ‘Made in Mars’ ini jelas-jelas tak membantu. Kecuali ...”
“Kecuali apa?” Elias menyipitkan mata.
“Kecuali kita benar-benar sedang berurusan dengan ... you know,” tangan Theo kini berputar familier, “wibbly-wobbly timey-wimey stuff.”
Elias memutar mata. “Serius? Harus banget mulai lagi sama referensi Doctor Who-mu itu?”
Sebelum Theo sempat menjawab, pintu kontainer yang disulap jadi lab dadakan mereka terbuka dengan derit keras. Aiden masuk, rambut acak-acakan serta lingkaran hitam di bawah mata begitu tebal, membuat panda pun mungkin minder.
“Tolong bilang padaku kalau kalian sudah menemukan sesuatu,” ucapnya parau. “Jujur, aku mulai kepikiran buat panggil Doctor Strange buka portal antar dimensi.”
Elias dan Theo saling pandang, sebelum akhirnya Theo menjawab dengan separuh bercanda, “Well, good news: kita mungkin punya iPod dari masa depan. Bad news: kita mungkin butuh Doctor Strange mengoperasikannya.”
“Ah, iPod masa depan!” seru Dr. Quantum ketika tiba-tiba muncul, begitu riang hingga hampir tidak pantas. “Seperti pepatah kuno: ‘Kalau kau tak bisa bawa Einstein ke gunung, bawa saja iPod masa depan ke Einstein!’”
Mereka menatap Dr. Quantum kompak dengan tatapan yang angkat tangan, menyerah—itu pun jika mata punya tangan.
“Abaikan saja,” desah Aiden. “Jadi, apa yang kalian temukan?”
Elias berdeham. “Ini—kita sebut saja ChronoTune karena, kenapa tidak?—sepertinya pemutar musik, atau setidaknya pemutar ... sesuatu.”
“Sesuatu?” Alis Aiden terangkat.
“Yep, sesuatu,” Theo menimpali. “Kami menemukan tombol ‘play’, tapi ...”
“Tapi apa?” desak Aiden.
“Tapi kami terlalu takut menekannya,” Elias mengaku malu-malu. “Maksudku, bagaimana kalau ini semacam bom waktu dari masa depan?”
Tatapan tak percaya langsung mengintimidasi kedua anggotanya itu. “Kalian berdua, ilmuwan jenius Harvard, takut menekan tombol ‘play’?”
“Hei, kehati-hatian adalah ibu dari penemuan!” Theo membela diri.
“Actually, yang benar itu ‘necessity is the mother of invention’,” koreksi Elias.