Kota Sembilan Tiga Perempat, 1556
Dengung lebah imajiner mengiris-iris keheningan kamar, bersaing dengan irama jantung yang memburu dan napas tertahan. Di ruangan yang biasa disemarakkan tawa riang Layla, kini hanya kehampaan membeku yang seolah bisa dicungkil dengan sendok es krim.
Angie duduk di tepi ranjang, menggenggam erat jemari mungil Layla yang terkulai lemas. Matanya yang biasanya berbinar penuh ceria kini redup, berkaca-kaca menahan tangis yang siap membanjir kapan saja. William berdiri di belakang, memijit lembut bahu Angie.
“Dia akan baik-baik saja,” bisik William, suara lembut yang selalu bisa menyejukkan Angie. “Layla itu kuat. Dia pasti bisa melewati ini.”
Angie hanya bisa mengangguk lemah, matanya masih terpaku pada wajah pucat Layla yang kini dipenuhi bintik-bintik merah—efek samping dari racun yang menyerang tubuhnya.
“Aku tahu,” balas Angie. “Tapi tetap saja ... melihatnya seperti ini ...”
William berlutut di samping Angie, memegang tangan Angie yang bebas. “Hei, lihat aku.”
Mata Angie bertemu dengan mata William yang dalam dan menenangkan—mata yang selalu mengingatkannya pada Aiden, tetapi kini menjadi milik William seutuhnya.
“Kau ingat ketika kau koma setelah insiden danau es di pesta musim dingin itu?” tanya William lembut.
Angie mengangguk. Bagaimana dia bisa lupa begitu saja? Itu momen yang mengubah segalanya—momen di mana dia sadar betapa berartinya dia bagi William, dan betapa berartinya William baginya.
“Saat itu, aku merasa duniaku runtuh,” lanjut William, mengusap lembut punggung tangan Angie. “Melihatmu terbaring tidak berdaya ... rasanya seperti separuh jiwaku ikut bersamamu. Tapi kau tahu apa yang membuatku bertahan?”
Angie menggeleng pelan.
“Harapan,” William tersenyum, mata birunya berkilau penuh keyakinan. “Harapan kalau kau pasti akan kembali padaku. Dan lihat sekarang, kau di sini, lebih kuat dari sebelumnya.”
Air mata Angie akhirnya tumpah. “William ...”
Namun sebelum dia bisa melanjutkan, pintu kamar terbuka dengan mendadak. Seorang wanita paruh baya, rambutnya kusut dan mata sembab, menerobos masuk. Di belakangnya, Elina berusaha menenangkan.
“Layla!” jerit Dara—ibu Layla—berlari menghampiri ranjang. “Oh, putriku sayang!”
Angie dan William bergeser, memberi ruang bagi Dara untuk mendekati putrinya. Dia langsung memeluk tubuh mungil anaknya, isak tangis memenuhi ruangan.
“Apa yang terjadi pada putriku?” Dara menatap Elina penuh harap.
Elina, yang tampak lebih lelah dari biasanya, menghela napas panjang. “Kami masih menyelidikinya, Bu. Namun yang jelas, Layla keracunan sesuatu dari es krim yang dia makan di pesta.”
“Es krim?” Dahi Dara berkerut. “Bagaimana mungkin makanan semanis dan selezat itu bisa meracuni putriku?”
❾¾
Bisik-bisik ketakutan dan tuduhan liar masih berkeliaran di halaman manor. Kieran berdiri di tengah kerumunan, berusaha menenangkan massa yang kian kalang kabut.
“Tenang, semuanya!” serunya, suaranya tegas tetapi tetap terkendali. “Kita akan selidiki ini tuntas. Tidak ada yang boleh meninggalkan manor sampai kita menemukan pelakunya.”
Kieran menghela napas. “Jangan buru-buru menarik kesimpulan. Bisa saja ini kecelakaan, atau—”
“—atau apa?” belah sebuah suara dingin dari belakang kerumunan.